Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (
Komnas HAM) mempertanyakan dasar Jaksa Agung ST Burhanuddin menyatakan kasus Semanggi I dan II bukan tergolong
pelanggaran HAM berat.
Komisioner Komnas HAM Chairul Anam yakin ada informasi salah yang masuk ke Jaksa Agung sehingga menyebut kasus Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat.
Chairul mengatakan hasil penyelidikan Komnas HAM menunjukkan kasus yang terjadi lebih dari 20 silam itu telah memenuhi syarat untuk disebut pelanggaran HAM berat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bahkan, pihaknya sudah menyerahkan berkas penyelidikan kasus tersebut ke Kejaksaan Agung.
"Jadi, kalau dikatakan bukan pelanggaran berat HAM, sementara ada berkas kasusnya yang telah dikirim ke Kejaksaan Agung, pertanyaan utamanya, Jaksa Agung bicara begitu dalam urusan apa? Politik atau penegakan hukum?" kata Anam kepada
CNNIndonesia.com, Kamis (16/1).
"Kalau politik, Komnas HAM enggak perlu mendengarkan, karena bukan ranah kewenangan Komnas. Namun sangat disayangkan
statement itu jika [Jaksa Agung] memang menganggap demikian (bukan pelanggaran HAM berat)," sambung dia.
Karena itu, Anam meminta Jaksa Agung Burhanuddin segera mengoreksi pernyataannya atau menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
"Atau kalau memang itu posisi hukum Jaksa Agung, ya dikeluarkan SP3 biar jelas posisi status hukumnya. Kami meyakini ada salah
input informasi. Makanya harus dikoreksi, kecuali Jaksa Agung memang mengeluarkan SP3," terang Anam.
 Foto: CNNIndonesia/Asfahan Yahsyi |
Terlepas dari itu, Jaksa Agung wajib menjelaskan apapun keputusannya ke publik. "Kalau SP3 ya harus
dijelasin ke publik, ini kan urusan pelanggaran berat HAM, yang juga jadi
concern Presiden," pungkas dia.
Berkas Kasus Semanggi I dan II adalah satu dari 12 penyelidikan perkara Pelanggaran HAM Berat yang telah diserahkan Komnas HAM ke Kejaksaan Agung.
Kasus yang terjadi pada 1998-1999 ini mengakibatkan setidaknya 29 orang tewas. Insiden berdarah itu terjadi di tengah demonstrasi menentang sidang Istimewa MPR pada November 1998 (Semanggi I) dan September 1999 (Semanggi II).
Dikutip dari laman
kontras.org, DPR membentuk Pansus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II (TSS) pada 2000, yang bertugas melakukan pemantauan proses penyelesaian kasus tersebut. Pada 2001, Pansus mengeluarkan rekomendasi bahwa tak ada pelanggaran HAM berat dalam kasus itu.
Pada 2006, Komisi III DPR merekomendasikan peninjauan kasus TSS. Namun, Rapat Paripurna DPR tak pernah membahasnya.
Di tahun yang sama, Rapat Pimpinan DPR memutuskan hasil Pansus DPR (1999-2004) soal TSS tak bisa dibatalkan dengan alasan tak etis.
[Gambas:Video CNN]"Bagi kami jelas, rekomendasi Pansus DPR bukanlah pruduk hukum. Pertama, karena ia lahir sebelum UU pengadilan HAM disahkan. Kedua, sesuai keputusan 29/DPR/III/2000-2001, mandat pansus DPR sebatas memantau proses penyelesaian kasus Trisakti, Semanggi I-II," dalam siaran pers KontraS pada 2006.
"Ketiga, wewenang menyelidik dan memutuskan ada tidaknya pelanggaran berat HAM bukan wewenang DPR, tetapi ada di Komnas HAM," lanjut KontraS.
(ika/arh)