Jakarta, CNN Indonesia --
"Teng, teng, teng." Bunyi lonceng di sebuah bangunan baru itu menggerakkan sekelompok
siswa yang tengah asik bermain voli. Waktu istirahat telah usai. Saatnya kembali ke
kelas masing-masing.
Selusin siswa langsung berlarian ke arah pancuran air yang berada di samping gedung sekolah. Berebut air untuk mencuci kaki.
Sebelum masuk kembali ke kelas, mereka wajib mencuci kaki terlebih dahulu. Wajar, karena mereka memang berkeliling di luar kelas di waktu istirahat tanpa alas kaki.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sepatu, yang dipakai dari rumah, mereka copot dan disusun rapi di rak sepatu depan kelas masing-masing. Baru dipakai kembali saat mengikut kegiatan belajar mengajar.
Seperti itulah keseharian siswa SMK Taruna Jaya. Berlokasi di Desa Kalijaya, Kecamatan Banjaranyar, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Sekitar 9 jam perjalanan darat dari Jakarta.
Siswa SMK Taruna Jaya umumnya menghabiskan waktu istirahat dengan berolahraga, bermain, berbincang, atau menanam tanaman di belakang gedung sekolah. Ada pula yang memetik cabai sambil bernyanyi bersama dengan iringan gitar.
Sebagian besar dari mereka tak sibuk memandangi telepon genggam seperti yang biasa dilakukan remaja di kota. Mereka pun tak menghabiskan waktu di kantin.
Maklum, tak ada kantin di sekolah tersebut. Para siswa membawa bekal sendiri dari rumah untuk disantap di waktu istirahat.
Tak hanya kantin, SMK Taruna Jaya juga tak memiliki toilet, musala, dan ruang kepala sekolah. Secara keseluruhan, bangunan sekolah hanya terdiri dari tiga ruang kelas dan satu ruang guru merangkap ruang kepala sekolah.
Siswa juga tak bisa menikmati ruangan yang bernama perpustakaan dan laboratorium komputer.
Walhasil, sekolah ini sangat sulit untuk bisa menerapkan apa yang diinginkan Menteri Pendidikan, Kebudayaan dan Pendidikan Tinggi Nadiem Makarim soal pemberdayaan teknologi dalam kegiatan belajar mengajar.
 Siswa SMK Taruna Jaya, Ciamis, Jawa Barat beraktivitas saat jeda istirahat. (CNN Indonesia/Tiara Sutari) |
Tak Kenal KomputerMeski berada satu pulau dengan jantung ibu kota negara, masih banyak siswa SMA Tarunajaya tak pernah menyentuh perangkat teknologi seperti laptop atau komputer.
Salah satunya Ikbal. Selama tiga tahun bersekolah di SMA Tarunajaya, dan akan segera menghadapi kelulusan, dia tak pernah mendapat pelajaran komputer. Di rumah pun tak ada perangkat tersebut.
"
Ih kan teu aya laptop, teu aya komputer. Teu belajar nu kitu abi mah. Nya belajar tina buku be, terus melak cabe (Kan enggak ada laptop, enggak ada komputer. Saya enggak belajar yang seperti itu. Ya belajar dari buku aja, lalu menanam cabai)," kata Ikbal.
Tidak mengetahui dan menikmati kemajuan teknologi membuat Ikbal tak punya cita-cita muluk. Dia hanya ingin melanjutkan usaha orang tuanya mengelola toko kelontong.
Dia yakin bisa mengembangkan usaha itu. Berbekal ijazah SMK nanti, Ikbal juga yakin bakal dipandang sebagai anak laki-laki yang pintar dan pantas mengelola toko kelontong oleh masyarakat sekitar.
"Ya setahun lulus paling nikah," kata Ikbal.
Putri, yang juga bakal segera lulus seperti Ikbal, memilih untuk menerima saja dengan keadaan sekolahnya. Tanpa mushola, perpustakaan dan laboratorium komputer.
Dia mengaku sudah senang andai nanti dinyatakan lulus dan memperoleh ijazah SMK. Cukup itu saja yang didambakan Putri.
"
Nya sabenerna mah abi teu mikiran kudu pinter bahasa inggris atawa bisa ngoprek komputer. Nu penting mah soal-soal ti guru bisa dikerjakeun. Bisa kenging ijasah pas lulus, terus ka kota mijrah, jadi kasir," kata Putri.
(Ya sebenarnya, saya enggak memikirkan bisa berbahasa Inggris atau menggunakan komputer. Yang penting, soal-soal dari guru bisa dikerjakan. Bisa punya ijazah pas lulus, lalu ke pergi ke kota, jadi kasir)
 Foto: CNNIndonesia/Asfahan Yahsyi |
Apa yang dipikirkan Ikbal dan Putri adalah cerminan sebagian besar siswa SMK Tarunajaya. Mereka tidak punya impian muluk menyongsong hari esok.
Bahkan, mayoritas siswa SMK Tarunajaya juga belum tahu siapa Nadiem Makarim. Ketika ditunjukkan foto Nadiem lewat ponsel pun mereka tetap mengaku tak mengetahui.
Berbeda halnya dengan siswa seusianya di wilayah perkotaan yang tentu akrab dengan sosok tersebut. Teknologi yang membuat mereka lebih banyak menerima informasi.
 SDN 1 Kalijaya, Ciamis, Jawa Barat memiliki bangunan sekolah yang ideal, namun keterbatasan guru menjadi penghambat kegiatan belajar mengajar. (CNN Indonesia/Tiara Sutari) |
Dicuri, Lalu Tak Ada LagiSMK Taruna Jaya berdiri sejak 2016. Gedung sekolah dibangun dengan biasa patungan warga. Tanah tempat gedung sekolah berdiri juga wakaf dari salah satu warga di Desa Kalijaya.
Merujuk dari informasi warga sekitar, orang yang mewakafkan tanah itu jengah melihat anak-anak di desanya tak lanjut menuntut ilmu di sekolah menengah atas. Alasannya, sekolah yang paling dekat cukup jauh jaraknya dari Desa Kalijaya.
SMK Taruna Jaya untuk saat ini hanya memiliki satu jurusan, yakni budidaya pertanian. Siswanya tak banyak, hanya ada sekitar 36 orang dari kelas 1 hingga kelas 3.
Salah satu tenaga kependidikan, Saefudin mengamini mengamini bahwa SMK Tarunajaya memiliki banyak kekurangan. Dia sendiri pun miris lantaran anak didiknya menuntut ilmu dengan segala keterbatasan. Berbeda dengan sekolah di kota besar yang pernah dia kunjungi.
"Ya miris sih, tapi mau bagaimana lagi, ini keadaannya," kata Pria 29 tahun yang biasa dipanggil Pak Aef itu.
Dia bercerita bahwa pada 2019 lalu, SMK Tarunajaya pernah mendapat bantuan lima unit perangkat komputer. Disusun rapi di ruang guru dan siswa dapat menggunakannya.
Namun, itu tak berlangsung lama. Tak sampai satu minggu, lima unit perangkat komputer itu digondol maling. Sejak itu, SMK Tarunajaya belum kembali memiliki perangkat komputer.
"Jadi kalau di sini, bukan cuma fasilitas yang kurang, tetapi kita juga harus berurusan sama maling. Sudah mah kurang, eh kemalingan," ucap Aef.
Aef kemudian mengeluhkan persoalan lain, yaitu kesejahteraan guru di SMK Tarunajaya. Dia mengatakan bahwa seluruh tenaga pengajar berstatus honorer.
Pendapatan mereka hanya bergantung dari Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang tentu tak seberapa. Kata Aef, para guru rata-rata hanya mendapat gaji bulanan yang jauh dari nominal upah minimum provinsi Jawa Barat.
Jika UMP Provinsi Jawa Barat sebesar Rp1,6 juta pada 2018 dan Rp1,8 juta pada 2020, para guru di SMK Tarunajaya hanya diberikan honor Rp300 ribu per bulan.
"Jadi ya, kita mengajar kalau ditanya kenapa, ya bukan karena gaji juga. Lebay-nya sih karena panggilan hati," kata Aef.
Aef paham tidak banyak yang bisa dilakukan. Baik untuk perbaikan kondisi SMK Tarunajaya mau pun kesejahteraannya. Meski demikian, harapan tetap ada meski tak muluk.
"
Sok atuh pemerintah teh dilihat bahwa masih ada sekolah yang enggak punya WC, enggak punya guru PNS, muridnya enggak tahu siapa wakil presiden dan siapa menteri pendidikan karena keterbatasan teknologi," kata dia.
Dia berharap pemerintah pusat dan daerah melihat lebih dekat kondisi sekolah di daerah pedalaman. Aef yakin banyak pula sekolah di daerah lain dengan kondisi lebih memprihatinkan dan perlu perhatian lebih dari pemangku kebijakan.
"Ya ke depan, maunya pemerintah itu lebih melihat pendidikan di pedalaman. Yakin saya, yang begini (sekolah SMK Taruna Jaya) bukan cuma di sini, tapi banyak," ucap Aef
"Bagaimana mau memajukan pendidikan dengan teknologi, kalau masih banyak sekolah yang justru tidak difasilitasi teknologi," tuturnya.
[Gambas:Video CNN] (bmw)