Sekolah Marginal di Sasak: Jokowi, Kami Butuh Kelas Baru
CNN Indonesia
Jumat, 14 Feb 2020 14:00 WIB
Bagikan:
url telah tercopy
Terlalu lama dinas pendidikan setempat dan pemerintah pusat memberikan bantuan untuk sekolah marginal di Riau, Bripka Ralon Manurung justru rela menjual perhiasannya (CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Tak sedikit orang di Dusun Sialang Harapan, Desa Batu Sasak, Kabupaten Kampar, Riau mengenal Ralon Manurung. Padahal ia bukan warga asli dusun. Tetapi kedatangan pertamanya pada 2017 silam membuat dia diingat.
Ia membangun Sekolah Marginal yang kondisinya sudah butut. Memang tak menyulap menjadi mewah, tapi cukup untuk berlindung para bocah.
"Tidak ada yang istimewa," tutur Ralon saat ditemui CNNIndonesia.com akhir 2019 lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Semua bermula tiga tahun silam. Saat itu para tetua dan tokoh masyarakat berkumpul di depan Sekolah Marginal alias SDN 010 Batu Sasak.
Murid-murid pulang mengunakan rakit usai belajar di SDN 10/Sekolah Marginal yang terletak di Dusun Sialang Harapan Desa Batu Sasak. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Belasan orang dewasa dan anak-anak menyambut Ralon yang hari itu mengenakan seragam polisi. Kedatangan itu disambut serumpun pantun selamat datang. Ralon malu bukan main jika mengingat lagi momen itu.
"Pikirnya aku ini pejabat. Pakai bahasa yang formal-formal begitu," seloroh Ralon diikuti gelak tawa.
"Enggak usahlah kayak gitu, aku kasih tahu begitu. Aku ini orang biasa-biasa. Tapi orang itu sudah sempat lanjutin kan. Aku juga enggak enak lah. Habis itu saya langsung lihat sekolahnya," lanjut dia.
Sebuah bangunan menyerupai kandang berdiri di depannya. Jauh dari kesan kokoh. Rangkanya kelihatan lapuk. Jendelanya dari bambu.
Atapnya terdiri dari seng dan terpal yang sudah rombeng. Sekilas melihat, bisa ditebak bangunan itu sudah uzur. Ralon bahkan tak yakin yang ia saksikan adalah sekolah.
"Saya lihat lagi, lantainya masih tanah. Lihat ke atas, bocor. Atapnya sudah seng, tapi ada sebagian terpal. Tapi sudah bocor. Lalu saya lihat ke depan, papan tulisnya bolong. Jadi kulihat, kanan-kirinya sudah kena semua, depan papan tulis bolong, kiri itu bambu-bambu sudah lesu-lesu, kanan ah... sudah...," ia memilih tak melanjutkan kalimatnya.
Ingatan polisi berpangkat Bripka atau Brigadir Polisi Kepala ini terlempar ke 30 tahun silam ketika masih duduk di bangku SD di Kabupaten Siak.
Bangunan sekolah yang ia pakai pun sama bobroknya. Beruntung, tak lama kemudian perbaikan dilakukan. Sedangkan sekolah di Sialang Harapan ini nyaris 11 tahun seperti diabaikan.
"Saya pikir gini, ini nggak mungkin lagi dibiarkan ini. Dalam hati saya, kalian harus keluar dari masa-masa seperti ini," cerita dia.
Meski begitu Ralon tak bisa menjelaskan angin apa yang membawanya sehingga enteng saja mengalirkan duit belasan juta rupiah untuk orang-orang yang baru ia kenal.
Hasil tabungannya sebesar Rp12,5 juta digunakan untuk membelikan bahan bangunan. Sial pula, ternyata ongkosnya lebih besar dari bujet.
"Saya siapkan Rp12 juta, ternyata pas tagihan jadi Rp14.700.000. Sekitar 2,5 juta itu biaya transportasi, kan jauh mengantarnya. Belum gajian juga. Waktu itu ada emas, ya sudah kata istri saya, emas yang kemarin [ditabung] dijual saja lah," kata Ralon menirukan.
Kata dia, boleh jadi pengalaman masa lalu lah yang mengantar Ralon melakukan hal demikian. "Apalagi, pertama, Istri saya mendukung, lalu dulu saya terlahir dari keluarga yang susah, kemudian dulu saya sekolah seperti ini juga. Jadi lengkap. Enggak ada alasan, memang harus kita bantu," pria usia 36 ini mencoba merunut.
Simak perjuangan siswa-siswa sekolah dasar SDN 010 di Dusun Sialang Harapan pada video di bawah ini:
Ralon merasa apa yang terjadi seperti sudah diatur. Misalnya, soal pertemuan kebetulan antara dirinya dengan warga Dusun Sialang Harapan yang menggalang dana di sekitar lokasi tugasnya.
"Mereka bawa baliho, di situ ada gambar anak-anak bawa tulisan: Jokowi, kami butuh ruang kelas baru. Jadi ini tujuannya ke masyarakat umum, tapi tulisannya di situ Jokowi. Saya lihat, saya tanya dan beri sumbangan seadanya," tuturnya.
"Dua hari dari itu, mereka itu kumpul di rumah saya. Saya terkejut lah," lanjut dia.
Lebih kaget lagi rupanya salah satu pentolan penggalangan dana, Riko Febputra merupakan kawan baik istri Ralon semasa kuliah.
"Istri saya enggak tahu sebelumnya saya menyumbang. Istri saya memanggil mereka pun saya nggak tahu. Tiba-tiba ketemu malam itu," aku Ralon.
Malam pada 2017 itu mereka berkumpul untuk membahas kelanjutan proses penggalangan dana untuk sekolah. Istri Ralon berniat membantu.
Tak langsung percaya, Ralon meminta istrinya menunggu sebelum memberikan bantuan.
Bripka Ralon Manurung rela menjual perhiasan istrinya demi memperbaiki sekolah marginal di Riau (CNN Indonesia/Safir Makki)
Setelah perjalanan 12 jam menuju Sialang Harapan dan menyaksikan langsung bangunan sekolah, Ralon tergerak. Tak perlu waktu lama, bapak dua anak ini menyisihkan uang simpanannya untuk membeli material bangunan.
Sebagai ganti, ia meminta tenaga warga untuk menjadi tukang dan kuli membangun sekolah.
"Saya pikir begini, untuk kehidupan ini kalau kita berpikir, ini untuk biaya ini, untuk biaya ini, memang betul harus kita manajemen. Tapi rezeki tidak berpintu, ada saja datangnya," ungkap Ralon soal keyakinannya.
Peribahasa, siapa menanam maka ia yang menuai terasa pas untuk Ralon. Yang dia lakukan bertahun silam itu kini mendapat perhatian atasannya, Kapolda Riau Irjen Pol Agung Setya.
Pada 2019 ia beroleh dua penghargaan sekaligus, dari Kapolda Papua dan Gubernur Riau. Dalam tempo berdekatan Kapolda Riau lantas mengunjungi sekolah itu.
Bahkan secara berlebihan, Ralon mengibaratkan jantungnya seperti mau copot saat Kapolda Riau Agung Setya menyambangi langsung sekolah yang dibangunnya. "Datang Kapolda, di situ saya seperti mimpi. .. Bangun, bangun, bangun," ucap dia lagi sambil menunjukkan gestur mencubit pipinya sendiri
Ralon sempat cemas saat orang nomor satu di Kepolisian Riau itu bertandang ke Sialang Harapan.
"Saya kan berpikir kalau di sana menginap dulu, dan lainnya. Jauh, Jenderal, saya bilang. Kupikir seperti kita. Rupanya, naik heli," tutur Ralon polos.
Tapi sesungguhnya bagi Ralon, bukan perhatian atau sorot kamera itu yang utama.
"Saya inginnya pendidikan di pedesaan dan di perkotaan itu seimbang. Jangan nanti di perkotaan ada, di pedesaan tidak. Jadi pemerintah terkait harus memperhatikan bagaimana mereka bisa belajar, enggak usah cerita teknologi dulu. Bagaimana mereka bisa belajar dulu," ia mencoba menyampaikan gagasan.
Ralon berbicara sebagai warga, sebagai orang Riau, bukan sebagai anggota polisi. Sebetulnya ia tak paham betul konsep pendidikan, kompleksitas permasalahan, apalagi penyelesaiannya. Saat hendak mengisi salah satu kelas saja ia kebingungan harus menyampaikan materi apa.
Yang ia tahu, ada gap antara sekolah-sekolah di kota dengan di desa ini. "Kalau sekarang ini kan enggak usahlah cerita tinggi-tinggi dulu, nanti teknologi harus seperti ini, seperti ini. Bagaimana mereka bisa belajar saja sudah bersyukur, apalagi mereka jalan ke sekolah saja pakai rakit dan lainnya," sambung Ralon.
Siswa SDN 010 Sialang Harapan, Riau kini memiliki gedung sekolah yang setidaknya bisa untuk berteduh dari panas dan hujan (CNN Indonesia/Safir Makki)
Pemerataan pendidikan bukan semata jadi harapan Ralon, tujuan akbar ini acap terdengar dari pelbagai pihak. Termasuk pemerintah pusat.
Sekretaris Dinas Pendidikan Provinsi Riau, Ahyu Suhendar juga bersepakat dengan tekad tersebut. Untuk mencapainya, menurut dia bukan saja diperlukan pemerataan infrastruktur melainkan juga kualitas sumber daya manusia.
"Makanya ada pemerataan akses pendidikan. Kita harapkan pemerintah pusat juga bisa menggunakan by data untuk melihat kondisi yang sebenarnya bagaimana, stressing-nya harus dibangun ruang kelas atau marginal ini dibagusin, atau dibangun permanen. Ini butuh sinergi pemerintah pusat dan daerah, ini sedang berjalan," terang Ahyu.
Ia menambahkan, penting bagi pemerintah untuk memetakan masalah faktual serta menganalisis penyelesaiannya. Langkah tersebut perlu dilakukan agar solusi yang ditempuh pun tepat.
"Saya rasa begini, saya hanya berpikir, untuk kita paham dengan teknologi, tentu harus dibuka wawasan kita. Tentu harus diubah pola berpikir kita. Dulu, untuk pendidikan karakter, teknologi tidak canggih tapi masih bisa orang mengenal pancasila, UUD 1945 dan NKRI tapi diberikan bagaimana cara agar ini semua tertanam," Ahyu menjelaskan.
"Begitu juga dengan masalah Papua atau daerah lainnya, akses itu penting, kita harus siapkan internet. Tapi saya rasa ini sambil berjalan saja lah diupayakan. Tapi memang sesungguhnya bagaimana seorang tenaga pendidik itu harus bisa membuka wawasan, merangsang anak-anak untuk berpikir," pungkas Ahyu.