Kisah Honorer Mengejar Keadilan Hukum ke Istana sampai MK

Feybien Ramayanti | CNN Indonesia
Kamis, 06 Feb 2020 06:28 WIB
19 tenaga honorer yang mayoritas guru menggugat uji materi UU ASN ke Mahkamah Konstitusi demi mendapatkan kepastian sesuai konstitusi.
Salah satu suasana sidang di Mahkamah Konstitusi. (CNN Indonesia/Andry Novelino)
Jakarta, CNN Indonesia -- Seorang pria berbusana kemeja putih dan peci hitam terlihat kikuk duduk di hadapan ketua dan anggota majelis dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Rabu (5/2).

Perawakannya kurus, tingginya semampai. Ketika hendak mengenalkan diri melalui mikrofon yang disediakan, ia sempat tertegun sejenak.

"Saya Sukma Umbara, guru honorer SD dari Indramayu yang mulia," ujarnya kepada majelis.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sukma hadir bersama tiga kawannya yang juga berstatus guru honorer. Sukma dan tiga rekannya tak berasal dari daerah yang sama. Di sebelahnya ada Mahmudin dari Pekanbaru, Yulis Suhadi dari Jambi, dan Muhammad Emnurambe dari Depok.

Mereka berempat hadir di hadapan majelis hakim memenuhi agenda sidang pertama atas tuntutan mereka untuk uji materi pada UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Pasal yang ingin diuji adalah Pasal 1 angka 4, Pasal 6, Pasal 58 ayat (1), Pasal 99 ayat (1) dan ayat (2).

Inti dari pengujian pasal-pasal tersebut, mereka menginginkan payung hukum untuk tenaga honorer yang selama ini belum dilindungi undang-undang. Hal itu diklaim menyulitkan mereka jika ingin memperjuangkan hak seperti upah, maupun perkara lain yang lazim diperjuangkan tenaga kerja umumnya.

Dalam berkas permohonan yang diberikan kepada majelis, tercantum 19 orang tenaga honorer lainnya. Beberapa di antaranya ada yang perawat, pegawai di Dinas Lingkungan Hidup, sampai tenaga kesehatan di puskesmas. Tapi kebanyakan guru honorer.

Pada agenda sidang pertama ini, Hakim MK Saldi Isra menanyakan kepada para pemohon apakah sudah membaca keputusan MK No. 9 Tahun 2015, No. 86 Tahun 2014 dan No. 6 Tahun 2019. Ketiganya merupakan hasil pengujian materi dari semua pasal yang diajukan Sukma bersama tiga kawannya.

"Menurut hukum acara di MK, pasal 60 saya bacakan, terhadap materi muatan ayat pasal bagian UU yang telah diuji tidak dapat dimohonkan pengujian kembali. Nah di ayat 2 pasal 60, ketentuan ayat 1 dapat dikecualikan jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda. Dan alasan konstitusional yang berbeda," tutur Saldi.

Atas dasar itu, Saldi meminta kuasa hukum yang merepresentasikan 19 pemohon tenaga honorer mengubah dasar hukum yang dijadikan batu uji dalam kasus ini, yakni Pasal 27 ayat 2, Pasal 28D ayat 2, Pasal 28I ayat 2, Pasal 28I ayat 4 UUD 1945.

Saldi mengakui hal yang ia minta sulit dilakukan. Namun jika tidak diubah, permohonan tidak bisa dilanjutkan.

Akhirnya, Majelis Hakim MK pun memutuskan menutup agenda sidang. Sidang pun bakal dilanjutkan pada 18 Februari 2020, pukul 14.00 WIB.

Kisah Honorer Mengejar Keadilan Hukum ke Istana sampai MKAksi tenaga honorer dari seluruh Indonesia di sebrang Istana Kepresidenana, Jakarta, Selasa, 30 Oktober 2018. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Perjuangan Para Guru Honorer

Ditemui setelah sidang, Sukma yang terlihat kikuk di hadapan hakim menerangkan perjuangan mereka saat berusaha menemui Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) meminta payung hukum bagi para honorer pada 2018.

"Coba search nama saya di youtube deh. Wah viral saya," ujarnya kepada CNNIndonesia.com sambil terkekeh.

Ia bercerita perjuangan bertemu presiden tak mudah. Sukma inisiatif berjalan kaki dari Indramayu ke Jakarta selama 11 hari agar dirinya dilirik mantan Gubernur DKI Jakarta itu.

Sampai di Jakarta pun ia tak langsung bisa bertemu Jokowi. Ia harus menunggu satu bulan sampai akhirnya bertemu dan menyampaikan langsung keluhan tenaga honorer lain yang ia wakili, agar mereka dapat payung hukum yang pasti.

Hasilnya, kata dia, tak sesuai ekspektasi karena buntutnya pemerintah hanya mengeluarkan PP No. 49 Tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).

Sukma mengaku sebenarnya ia masih berusia 32 tahun. Artinya ia masih bisa mengikuti seleksi CPNS agar jadi ASN. Namun kala itu dirinya masih berkeras tak mau ikut CPNS. Bukan karena ingin jadi pemberontak, tapi atas solidaritas untuk mereka yang nasibnya tak sebaik dia.

"Kalau saya egois tahun kemarin saya daftar. Cuma saya melihat yang senior, yang sudah mau pensiun. Banyak yang menangis, menjerit. Akhirnya ketika banyak demo di daerah saya tergugah," tuturnya.

Tahun ini, Sukma menyerah dan memutuskan ikut seleksi CPNS 2020. Solidaritas yang tinggi nyatanya harus mengalah dengan kebutuhan anak dan istri di rumah. Dengan upah Rp500 ribu per bulan meskipun sudah 15 tahun mengajar, ia tak bisa terus keras kepala.

Hal serupa juga sempat dirasakan Mahmudin, guru pelajaran sejarah dari Riau. Ia sudah menjadi guru honorer sejak 1996. Namun mujurnya ia mendapat pengakuan dari Pemda Riau berupa sertifikasi mengajar pada 2005 lalu.

Mulanya gaji yang diterima sebagai honorer tak seberapa, tapi semenjak dapat pengakuan Pemda perbedaannya cukup signifikan. Rata-rata guru honorer dengan sertifikasi bisa dapat gaji Rp2 juta sampai Rp5 jutaan. Alasan solidaritas terhadap sesama honorer inilah yang membawanya ke gedung MK. 

"Teman-teman yang dapat SK (sertifikasi) sekitar 5 ribu orang. Gajinya Rp2 jutaan. Tapi jumlah honorer di Riau bisa sampai 16 ribu. Artinya yang bernasib di bawah kami banyak sekali," ujar Mahmudin.

Sebelumnya, secara terpisah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) meminta Majelis Perwakilan Rakyat (MPR) mendorong pemerintah dan DPR melakukan revisi UU ASN soal nasib tenaga honorer yang dihapus per tahun ini.

"PGRI memohon agar tenaga honorer pendidik maupun tenaga kependidikan, kedua kategori diberikan kesempatan mengikuti seleksi CPNS maupun PPPK. Lebih diutamakan lagi bagi yang berusia di atas 35 tahun mohon diprioritaskan," tutur Ketum PGRI Unifah Rosyidi saat beraudiensi dengan Ketua MPR Bambang Soestayo di kompleks parlemen, Jakarta Selatan, Selasa (4/1), yang dikutip dari keterangan pers.

Lebih lanjut PGRI juga meminta MPR memperjuangkan kesejahteraan guru honorer yang kebanyakan masih jadi persoalan.

"Bagaimana bicara mutu dan merdeka belajar jika ada guru yang dibayar sangat rendah dan tidak manusiawi," ujar Unifah.

PGRI mencatat setidaknya ada 3 juta orang guru yang mengabdi di Indonesia. Di mana 55 persennya adalah tenaga honorer, dan sisanya PNS.

[Gambas:Video CNN]
Menanggapi tuntutan tersebut, Bamsoet pun menyatakan bakal mengupayakan yang diminta PGRI.

Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) menyatakan ada tiga profesi honorer selama masa transisi hingga 2023 yang jadi prioritas mengikuti tes seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).

Deputi Sumber Daya Manusia Aparatur Kemenpan RB Setiawan Wangsaatmaja menjelaskan tiga profesi tersebut berada yakni guru, dosen, serta tenaga kesehatan.

Setidaknya, ASN di seluruh Indonesia saat ini mencapai 4,28 juta orang. Sebanyak 39,1% atau sekitar 1,6 juta di antaranya adalah tenaga administrasi.

(kid)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER