Jakarta, CNN Indonesia -- Front Pembela Islam (
FPI) berpendapat Rancangan Undang-undang
Omnibus Law Cipta Kerja membuktikan pemerintah menggunakan kekuasaan untuk menabrak ketentuan hukum.
Diketahui, Pasal 170 UU Omnibus Law Ciptaker menuai polemik karena memuat aturan bahwa Peraturan Pemerintah (PP) bisa mengubah UU lain. Naskah RUU ini sendiri sudah diserahkan Pemerintah untuk dibahas di DPR.
"Jelas sekali ini membuktikan sudah menjadi negara kekuasaan bukan lagi negara hukum," kata Sekretaris Umum FPI Munarman, melalui keterangan pers yang diterima, Senin (17/2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia, yang merupakan mantan pengacara publik di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) itu, juga menyebut isi dari Omnibus Law bertentangan dengan prinsip kerakyatan yang kerap ditonjolkan rezim.
Sejumlah poin-poin yang dipersoalkan dalam aturan itu, misalnya, adalah penghilangan perizinan lingkungan, penghapusan cuti panjang pekerja, penghapusan upah bagi buruh sakit, karpet merah untuk pebisnis batubara.
"Semua retorika dan pencitraan kerakyatan hanya omong kosong dan pembohongan publik," cetus Munarman.
Ia juga mengkritik sikap Parlemen yang seakan tidak berdaya menindaklanjuti keinginan pemerintah terkait UU ini. Menurut dia, parlemen sudah tidak berfungsi lagi sebagaimana mestinya.
"Semua sistem ketatanegaraan sudah keropos digerogoti oleh kelompok yang paling sering teriak 'Aku Pancasila'," ucap dia.
 Buruh menolak Omnibus Law karena ketentuannya merugikan mereka dan memberi karpet merah kepada pengusaha. (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay) |
"Ternyata hanya sekadar tikus politik yang rebutan remah-remah untuk mengisi perut," sindirnya.
Sebelumnya, Menko Polhukam Mahfud MD mengakui ada kemungkinan salah ketik dalam draf Omnibus Law Ciptaker.
"Mungkin itu keliru ketik. Kalau isi Undang-undang diganti dengan PP diganti dengan Perpres itu tidak bisa," kata Mahfud usai menghadiri acara Bincang Seru Mahfud di Kampus Universitas Indonesia (UI) Depok, Jawa Barat, Senin (17/2).
Menurutnya, UU bisa diubah oleh Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
"Lewat Perppu kan sejak dulu. Kalau undang-undang diganti Perppu kan sejak dulu bisa, sampai kapan pun bisa. Tapi kalau isi undang-undang diganti PP, tidak bisa," kata Mahfud.
Terpisah, Wakil Ketua DPR RI Aziz Syamsuddin menyatakan PP tidak bisa mengubah sebuah undang-undang (UU).
"Enggak bisa ini. Enggak bisa. Secara hukum normatif, PP enggak bisa ubah UU," kata dia, kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Senin (17/2).
Namun begitu, ia tak mau menyebut bahwa pemerintah melakukan kesalahan dalam penyusunan draf regulasi tersebut. Ia menduga poin tersebut masuk ke draf Omnibus Law RUU Ciptaker karena kesalahan dalam pengetikan saja.
[Gambas:Video CNN]"Saya enggak bisa bilang salah. Mungkin salah ketik," dalih politikus Partai Golkar itu.
Aziz pun menyatakan bahwa DPR akan menyoroti poin tersebut dalam pembahasan Omnibus Law RUU Ciptaker dengan pemerintah. Menurutnya, semua poin dalam rancangan regulasi tersebut masih bisa diubah.
"Nanti dalam pembahasan saja. Dalam pembahasan bisa dibahas. ini bukan
rigid, paten. Masih dimungkinkan dilakukan perubahan," ujarnya.
Pasal 170 Ayat (1) RUU Omnibus Law Ciptaker menyatakan bahwa dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja pemerintah pusat berwenang mengubah ketentuan dalam Undang-undang yang tidak diubah dalam Undang-undang ini.
Kemudian dalam ayat (2) diperjelas bahwa perubahan ketentuan itu diatur dengan PP. Ayat (3) menyatakan bahwa pemerintah pusat dapat berkonsultasi dengan Pimpinan DPR RI terkait perubahan itu.
Berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, secara hierarkis PP berada di bawah UU. Konsekuensinya, aturan yang ada di bawah tak bisa mengubah yang ada di atasnya.
(ryn/mts/arh)