Jakarta, CNN Indonesia -- Pengamat Hukum Pidana dari
Universitas Indonesia, Eva Achjani Zulfa menilai kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (
PSBB) oleh Presiden
Joko Widodo tak berpihak kepada masyarakat kelas menengah ke bawah.
Eva menilai kebijakan PSBB seakan-akan diinterpretasikan oleh pemerintah sebagai kebijakan elitis yang hanya menyasar masyarakat kelas menengah ke atas.
"Seolah-olah ini kebijakan PSBB yang pro terhadap kelas menengah dan tak pro terhadap kelas bawah," kata Eva dalam diskusi daring Forum Diskusi Salemba, Rabu (15/4)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih lanjut, Eva menyatakan pemerintah tengah melakukan interpretasi bahwa kebijakan PSBB hanya bisa diterapkan oleh masyarakat yang memiliki pekerjaan formal.
Salah satu contoh penerapan PSBB yang kini digalakkan pemerintah adalah bekerja dari rumah maupun belajar dari rumah.
Ia menyatakan instruksi bekerja dari rumah tersebut tak berlaku bagi kalangan masyarakat kelas menengah ke bawah yang banyak bergerak di sektor informal.
"
Impact [dampak] penerjemahannya atau interpretasinya sebagai apa yang kita lakukan sekarang.
Work From Home. Bahwa ini adalah kebijakan elite, karena yang diakui sebagai bekerja dari rumah adalah pada sektor-sektor formal," kata dia
Infografis yang dilarang dan tidak saat PSBB. (CNN Indonesia/Timothy Loen) |
Eva memandang masyarakat yang bergerak di sektor informal tak diwadahi oleh pemerintah saat penerapan PSBB. Sebab, masih banyak di antara mereka yang terus bekerja di luar rumah untuk menghidupi keluarganya masing-masing sampai saat ini.
Ia mencontohkan masih banyak pedagang makanan dan asongan yang tetap berjuang mencari nafkah di tengah wabah corona. Sehingga, Eva memandang aturan mengenai PSBB itu seperti tak berlaku bagi para pekerja sektor informal itu sampai saat ini.
"Karena mereka harus hidup. Ada yang bilang, daripada kita mati kena corona, sama aja kita mati kelaparan juga. Itu yang terjadi di masyarakat. PSBB ini saya interpretasikan kebijakan elite. Kebijakan kelas menengah atas," kata dia.
Melihat persoalan itu, Eva memandang sanksi yang tertuang dalam Pasal 93 Undang-undang (UU) Nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan seperti buah simalakama.
Sebab, di satu sisi masih banyak sektor informal yang mengadu nasib mencari nafkah di jalanan, namun di sisi lain aturan harus ditegakkan.
Diketahui, UU tentang Kekarantinaan Kesehatan itu mengatur sanksi bagi yang melanggar dijatuhi pidana selama 1 tahun dan denda paling banyak Rp100 juta.
"Ini jadi satu situasi yang buat saya miris karena pasal 93 jadi macan ompong, enggak ada gunanya," kata dia.
(rzr/pmg)
[Gambas:Video CNN]