Jakarta, CNN Indonesia -- Pengacara Hak Asasi Manusia (HAM)
Veronica Koman dan Jennifer Robinson menyurati Gugus Kerja Penahanan Sewenang-wenang dan Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (
PBB) untuk mendesak Pemerintah Indonesia membebaskan 63 tahanan politik (
tapol) kasus makar terkait gerakan di Papua.
Veronica mengklaim 56 dari 63 nama itu telah diserahkan ke Presiden Joko Widodo saat lawatan ke Australia beberapa waktu lalu.
"Namun sejauh ini kita belum mendapat respons apapun, kecuali Pak Menteri bilang bahwa data tersebut 'sampah'. Untuk itu, kami mendesak PBB dan Pemerintah Indonesia untuk menanggapi masalah tapol ini secara serius karena sekarang nyawalah taruhannya," kata Veronica dalam keterangan tertulis kepada
CNNIndonesia.com, Kamis (16/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Veronica menyebut desakan pembebasan ini menjadi krusial di tengah pandemi virus corona (Covid-19). Menurutnya, kapasitas lapas di Indonesia sudah berlebihan sehingga rentan penyebaran corona.
"Indonesia, dengan angka kematian tertinggi di Asia, telah mengakui risiko penyebaran Covid-19 di penjara yang
overkapasitas dengan telah dibebaskannya 30.000 tahanan. Namun, ke-63 tapol ini, yang tidak menimbulkan ancaman bagi masyarakat, masih dipenjara," ucapnya.
Surat desakan pembebasan tapol Papua dikirim pada Rabu (15/4) malam, disertai dokumen 400 halaman terkait data tapol dan uraian pelanggaran hukum internasional yang telah dilakukan Pemerintah Indonesia.
Sebanyak 63 tapol itu terdiri dari 56 orang asli Papua, 1 orang non-Papua Indonesia, 5 orang Maluku, dan 1 orang kewarganegaraan Polandia.
Veronica mengungkapkan beberapa nama yang termasuk dalam daftar 63 tapol itu antara lain Jubir FRI-West Papua Surya Anta Ginting, warga negara Polandia Jakub Skrzypski, dan perempuan pembawa Bendera Bintang Kejora Sayang Mandabayan.
Dia berkata sebagian besar tapol ditangkap saat aksi unjuk rasa besar-besaran di Papua pada akhir 2019. Mereka dikenakan Pasal 106 dan/atau Pasal 110 KUHP dengan ancaman penjara maksimal 20 tahun. Namun baru tujuh orang di antaranya yang telah divonis.
"Ada yang ditahan hanya karena membawa bendera Bintang Kejora maupun Benang Raja, atau karena berpartisipasi dalam aksi damai, serta menjadi anggota dari organisasi yang mendukung hak atas penentuan nasib sendiri: yang mana semuanya adalah kegiatan yang dijamin oleh hukum internasional," tuturnya.
(dhf/wis)
[Gambas:Video CNN]