Jakarta, CNN Indonesia -- Peneliti Iklim dan Energi dari Greenpeace, Adila Isfandiari menyatakan sumber
polusi udara di Indonesia bukan hanya dari kendaraan bermotor, sehingga pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) tidak signifikan mengurangi polusi terutama di Jakarta.
Ia menegaskan hal tersebut setelah melakukan analisis atas kualitas udara di wilayah yang sudah menerapkan PSBB terkait virus corona (Covid-19).
"Kontributor besarnya memang ada kendaraan. Tapi juga ada pembakaran sampah, pabrik industri, pembangkit listrik," tuturnya kepada
CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon, Rabu (22/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejumlah wilayah di Indonesia telah menerapkan PSBB untuk menekan penularan Covid-19.
DKI Jakarta melakukannya lebih dulu mulai 10 April 2020. Kemudian, disusul Depok, Bekasi, Bogor, dan Tangerang Raya mulai pekan lalu secara tak bersamaan. PSBB pun digelar di sejumlah wilayah lain, termasuk di Bandung Raya plus Sumedang yang baru melaksanakannya pada 22 April 2020.
Berkaca pada temuan pihaknya, Adila mengatakan seharusnya selama pelaksanaan PSBB di daerah-daerah tersebut mobilitas masyarakat termasuk penggunaan kendaraan bermotor menurun signifikan. Namun melihat perhitungan kualitas udara di daerah tersebut, kebanyakan justru masih terhitung tidak sehat atau buruk.
Jika mobilisasi masyarakat sudah dibatasi namun kualitas udara masih buruk, lanjut Adila, bisa jadi polusi juga disebabkan faktor lain. Salah satunya pembangkit listrik tenaga batu bara.
Dia mencontohkan kasus di Jakarta. Dalam radius 100 kilometer di luar Jakarta, ia mengatakan ada 21 unit pembangkit listrik yang masih beroperasi 24 jam. Meskipun PSBB diterapkan, sektor energi masih dibutuhkan berjalan.
Dan, menurut perhitungan pihaknya serta analisa dari World Health Organization (WHO), polusi partikel udara dengan ukuran lebih kecil dari 2,5 mikron bisa mencemari udara hingga lebih dari 100 kilometer.
Artinya bisa jadi penyumbang polusi datang dari sektor energi, berdampingan dengan kegiatan pembakaran sampah dan penyumbang polusi lainnya.
Namun menurut Adila, hal itu juga belum bisa dipastikan. Pasalnya, Indonesia tidak punya data yang jelas terkait polusi. Belum ada inventarisasi yang menjelaskan persentase sumbangan polusi dari berbagai sumber.
"Kita enggak tahu sumber polusi yang masuk, dan di mana polanya, besarannya. Ketika pemerintah mau ambil kebijakan, keberhasilannya enggak bisa terukur," tutur Adila.
Ia juga menilai payung hukum pemerintah masih lemah dalam memperketat baku mutu emisi pembangkit listrik. Baku mutu emisi sendiri sebenarnya sudah diperbarui melalui Peraturan Menteri LHK No. 15 Tahun 2019 tentang Baku Mutu Emisi Pembangkit Listrik Tenaga Termal.
Jika melihat negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan dan China keketatan baku mutu emisi pembangkit listrik di Indonesia masih lebih lemah.
"Kalau kita bicara PLTU, kita itu impor teknologi dari tiga negara ini. Tapi kok di sana bisa baku mutu emisi ketat banget. Kok kita masih longgar-longgar?" tanyanya.
Angka parameter sulfur dioksida (SO2) di Indonesia ditetapkan sebesar 550 mg/NM3, dan nitrogen oksida (NOx) sebesar 550 mg/Nm3. Adila mengatakan ini 15 kali lebih rendah dari Cina, Jepang dan Korea Selatan.
Sedangkan untuk parameter partikulat (PM) ditetapkan sebesar 100 mg/Nm3, yang dikatakan 20 kali lebih lemah dari tiga negara tadi. Hal ini dinilai bertentangan dengan komitmen Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) yang ingin membatasi kenaikan temperatur hingga 1,5 derajat celcius.
"Itu kita harus mengurangi emisi batubara 80 persen di tahun 2030. Artinya kita harus menutup 80 persen batubara kita, Tapi kita malah mau nambah
double. Jadi bertentangan banget," tambahnya.
Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) KLHK Ruanda mengatakan Indonesia sudah merencanakan pemakaian energi terbarukan pada 2025. Hal ini jadi salah satu dorongan regulasi pemerintah untuk menekan sumbangan emisi.
"Kita dari dewan nasional sudah punya rencana umum energi nasional. Tahun 2025 kita harus menuju energi terbarukan sebesar 23 persen. Ini kesempatan besar, PLN sudah menuju ke sana," tuturnya dalam diskusi daring di akun Youtube Energy Academy Indonesia.
Ia pun menegaskan bahwa Indonesia berkomitmen menurunkan emisi GRK sebesar 29 persen. Saat ini gas emisi di Indonesia paling besar dipegang sektor kehutanan sebesar 17,2 persen dan disusul sektor energi. sebesar 11 persen.
Dari sisi energi, komposisi pembangkit tahun 2019 sendiri didominasi sumber batubara sebanyak 63,1 persen. Kemudian disusul gas 21,3 persen, energi terbarukan 11,5 persen dan bahan bakar minyak 5 persen.
Menengok DKI Jakarta, kualitas udara hari ini menurut IQAir dikatakan tidak sehat dengan perhitungan 62 mg/Nm3. Kualitas udara terburuk dalam dua pekan ini tercatat pada 21 April, yakni 76,1 mg/Nm3.
Dalam dua pekan ini kualitas udara juga terpantau tidak sehat pada 21 April dan 19 April. Kemudian terhitung tidak sehat untuk orang sensitif pada 20 April, 18 April, 13 April, 12 April, 11 April dan 10 April.
Selanjutnya di Bekasi, Jawa Barat kualitas udara tidak sehat selama lima hari ke belakang. Paling buruk tercatat pada 19 April dengan 81,2 mg/Nm3 sejak PSBB diberlakukan 15 April 2020.
(fey/kid)
[Gambas:Video CNN]