Orang Tanpa Gejala Corona Jadi Dilema Penanganan Covid-19

CNN Indonesia
Rabu, 06 Mei 2020 08:20 WIB
Calon penumpang berbaris antre menunggu giliran masuk ke dalam Stasiun Bekasi, Jawa Barat, Selasa, 5 Mei 2020. Pemkot Bekasi melakukan tes Poylmerase Chain Reaction (PCR) bagi penumpang KRL untuk memutus rantai virus covid-19. CNNIndonesia/Safir Makki
Petugas medis ber-APD dengan latar belakang calon penumpang yang antre menunggu giliran masuk ke Stasiun Bekasi, 5 Mei 2020(CNNIndonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Sejak kasus pertama positif virus corona (Covid-19) di Indonesia diungkap pada 2 Maret lalu, angka kasus corona terus melonjak hingga kini bahkan sudah menyebar di seluruh provinsi.

Per Selasa, 5 Mei 2020, angka nasional positif Covid-19 adalah 12.071  orang, di mana 2.197 sembuh dan 872 meninggal.

Kepala Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Doni Monardo pernah mengatakan bahwa sebanyak 76 persen pasien positif Covid-19 adalah Orang Tanpa Gejala (OTG).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Presentasi OTG cukup tinggi. Sebanyak 76 persen pasien positif Covid-19 adalah OTG," ujar Doni dalam Pembukaan Musrenbangnas, Kamis (30/4).

Sementara menurut Ahli Epidemiologi UI Pandu Riono, persentasi OTG sedikit lebih tinggi yakni 86 persen dari total orang yang terinfeksi sejak 2 Maret lalu di Indonesia.

"Sebagian besar kasus merupakan OTG yang tidak perlu perawatan khusus, hanya 3-4 persen pasien yang memerlukan perawatan khusus," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Senin (4/5).

Hal senada juga disampaikan Peneliti Lembaga Biomolekuler Eijkman, Iqbal Elyazar. Berdasarkan kasus di berbagai negara, sekitar 80 persen pasien yang melalui tes merupakan orang tanpa gejala. 

"OTG sangat rawan menularkan jika tidak ada aturan yang mengatur kegiatan di ruang publik, terutama tempat rawan seperti KRL," kata Iqbal melalui pesan teks.

Pada kasus Covid-19, pemerintah hanya mengumumkan jumlah PDP dan ODP kasus Covid-19. Tak diketahui pasti bagaimana perkembangan OTG di Indonesia. Tapi di beberapa gugus tugas tingkat daerah ada yang menampilkan data OTG seperti Kalimantan Barat yang bisa dilihat pada laman dinkes.kalbarprov.go.id/covid-19/, dan Jawa Timur pada laman infocovid19.jatimpro.go.id.

Jatim misalnya mencatat OTG terbanyak per Selasa (5/5) siang ada di Kota Surabaya yakni 1.712, disusul Kabupaten Sidoarjo sebanyak 1.098. Sementara di Kalbar, OTG pada waktu yang sama sejauh ini 1 orang.

OTG sendiri merupakan orang yang mungkin pernah bersentuhan langsung dengan penderita Covid-19 sehingga tertular. Namun OTG tidak menderita gejala Covid-19 seperti demam tinggi dan sesak nafas. Sebab tak ada gejala, OTG terkadang tak sadar pula dirinya telah terinfeksi corona.

Padahal OTG lebih rentan menyebarkan virus corona karena tidak menimbulkan gejala apapun, sehingga menganggap dirinya sehat dan kemudian melakukan aktivitas di luar rumah. Lantas, untuk mengetahui sebaran OTG yang positif corona, apakah pemerintah harus memaksimalkan tes PCR hingga masif ke seluruh warga Indonesia?

Dilema Pemeriksaan Massal

Uji spesimen Covid-19 di Indonesia sempat mengalami beberapa kendala di antaranya akibat ketersediaan alat tes spesimen seperti PCR beserta reagen, serta rapid kit. 

Pada 8 April lalu, Staf Kementerian BUMN Arya Sinulingga mengatakan telah mendatangkan alat PCR dari negeri Swiss. Arya mengklaim dengan tersedianya alat PCR, Indonesia mampu melakukan tes hingga 10 ribu kali dalam sehari.

Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) lalu menginstruksikan target melakukan tes PCR 10 ribu kali sehari. Itu disampaikannya dalam Rapat Terbatas pada 13 April 2020.

Sepekan setelahnya, Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Corona, Achmad Yurianto mengumumkan sebanyak 37 laboratorium uji spesimen berhenti beroperasi akibat kekurangan reagen.

"Beberapa lab terpaksa harus menghentikan aktivitasnya karena memang reagen-nya belum sampai," ujar Yuri saat konferensi pers, Selasa (21/4).

Staf Khusus Menteri Kesehatan, Alex Ginting juga pernah bersuara mengenai ketersediaan alat kesehatan, terutama terkait pemeriksaan massal menggunakan alat PCR. Menurutnya aakan sulit dilakukan, bahkan untuk mencapai tes 10 ribu per hari seperti yang diinginkan Presiden Joko Widodo.

"Alat PCR impor termasuk reagen, tes swab hanya bisa dilakukan oleh tenaga medis profesional, tidak mungkin bisa 10 ribu tes sehari," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Selasa (21/4).

Calon penumpang commuterline menjalani tes Polymerase Chain Reaction (PCR) di Stasiun Bekasi, Jawa Barat, Selasa, 5 Mei 2020. Tes PCR untuk mencegah penyebaran mata rantai covid-19. CNNIndonesia/Safir MakkiCalon penumpang KRL menjalani tes Polymerase Chain Reaction (PCR) di Stasiun Bekasi, Jawa Barat, 5 Mei 2020. (CNNIndonesia/Safir Makki)

Selain terkendala dengan ketersediaan alat dan SDM, pemeriksaan virus corona secara massal di Indonesia dinilai akan sangat boros anggaran.

Oleh karena itu, Pandu Riono pun lebih menyarankan pemerintah untuk memperbanyak kapasitas testing di wilayah dengan risiko penularan Covid-19 yang tinggi.

"Mahal sekali (persiapan tes massal), kita perlu meningkatkan testing pada subgroup yang berisiko, lalu melakukan isolasi orang yang positif baik bergejala dan yang tidak bergejala," ujarnya.

Pemikiran serupa juga disampaikan Iqbal. dari Eijkmann. Menurut Iqbal dalam rangka mencegah penularan Covid-19 dari OTG, tidak perlu mengadakan tes PCR secara massal.

Ia justru merekomendasikan pemerintah untuk meningkatkan tes PCR di wilayah dengan tingkat penularan yang tinggi selain dengan membatasi mobilitas penduduk.

Lebih lanjut ia mengatakan, tes menggunakan metode PCR juga bisa dilakukan untuk orang-orang di KRL karena rawan menularkan virus.

"Karena pada periode pertengahan Maret, sekitar 1 juta orang per hari hilir mudik di Jabodetabek menggunakan KRL, banyak kemungkinan untuk menyentuh permukaaan di dalam gerbong kereta, mulai dari pintu, pegangan besi tangan dan sandaran," ujarnya. 

Untuk uji terhadap penumpang KRL itu telah diterapkan di Kota Bogor dan Bekasi.

Petugas medis mengambil sampel penumpang KRL Commuter Line saat tes swab di Stasiun Bogor, Jawa Barat, Senin (27/4/2020). PT KCI bersama Dirjen Perkeretaapian Kemenhub, Dishub, dan Labkesda Provinsi Jawa Barat serta Dinkes Kota Bogor melakukan tes swab untuk 350 warga yang terdiri dari petugas PT KCI dan penumpang KRL Commuter Line yang dilakukan secara massal dan random dengan mengumpulkan cairan atau sampel dari bagian belakang hidung dan tenggorokan sebagai salah satu metode untuk mendeteksi dan mencegah penyebaran virus Corona (COVID-19) di moda transportasi KRL Commuter Line. ANTARA FOTO/Arif Firmansyah/hp.Petugas medis mengambil sampel penumpang KRL Commuter Line saat tes swab di Stasiun Bogor, Jawa Barat, 27 April 2020. (ANTARA FOTO/Arif Firmansyah)


Tidak Melonggarkan PSBB

Selain tes PCR tersebut, Ahli Epidemiologi lain dari UI, Hermawan Saputra merekomendasikan pemerintah tetap melakukan PSBB meski ada pelambatan angka kasus positif Covid-19. Ia mengatakan, kasus positif Covid-19 bisa lima kali lipat lebih banyak pada OTG.

"Meskipun tanpa gejala, semestinya OTG perlu melakukan pemeriksaan, karena beberapa kasus dia 5-10 orang. Artinya jika ada 10 ribu kasus positif, boleh jadi ada 50 ribu-100ribu orang tanpa gejala," ujar Hermawan pada CNNIndonesia.com.

Untuk menekan angka penyebaran ini, ia meminta pemerintah untuk tetap memberlakukan PSBB untuk menghindari silent movement virus corona ke wilayah yang lebih luas.

"Pemerintah perlu memperketat PSBB bukannya melonggarkan PSBB, lebih baik lagi kalau wilayah PSBB diperluas," ujarnya.

Sementara ini berdasarkan data nasional per 5 Mei 2020, kasus positif Covid-19 tercatat sebanyak 12.071 orang. Sebanyak 2.197 di antaranya dinyatakan sembuh, dan 872 lainnya dinyatakan meninggal dunia. (mln/kid)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER