Kurva Epidemi Penting untuk Bantu Pemerintah Hadapi Corona

CNN Indonesia
Rabu, 13 Mei 2020 09:51 WIB
Calon penumpang commuterline menjalani tes Polymerase Chain Reaction (PCR) di Stasiun Bekasi, Jawa Barat, Selasa, 5 Mei 2020. Tes PCR untuk mencegah penyebaran mata rantai covid-19. CNNIndonesia/Safir Makki
Iustrasi. (CNNIndonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Ahli Epidemiologi dan Biostatisik, Iqbal Elyazar menjelaskan pentingnya kurva epidemi untuk menentukan arah kebijakan penanganan Covid-19 di Indonesia. Kurva ini menunjukkan pergerakan kasus Covid-19 yang bisa menjadi acuan membuat kebijakan.

"Kurva epidemi adalah alat visualisasi, kita bisa melihat kapan waktu pandemi dimulai, puncak hingga menunjukkan penurunan atau landai, sehingga bisa digunakan untuk mengevaluasi intervensi pemerintah," ujarnya melalui video conference, Selasa (12/5).

Namun kurva epidemi harus dibuat menggunakan data yang tepat dan real. Terutama pada bagian jumlah pemeriksaan spesimen dan jumlah pertambahan kasus per hari. Data ini harus tercatat secara real time sehingga perhitungan bisa akurat.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sederhananya, laporan pemeriksaan spesimen yang dilakukan di setiap rumah sakit atau laboratorium di daerah harus diberikan langsung kepada pusat (Litbangkes) tanpa perlu menunggu hasil pemeriksaan. Sebab, menurut Iqbal hal yang diperhitungkan dalam data ini adalah waktu munculnya gejala Covid-19 pada seseorang. Jika banyak muncul orang dengan gejala, maka kurva akan terus menunjukkan tren peningkatan kasus.

"Hasil sampel bisa 3-5 hari kemudian dilaporkan ke Litbangkes, padahal yang penting adalah tanggal munculnya gejala," ujar laki-laki yang juga peneliti Eijkman tersebut. 

Iqbal menambahkan dengan melihat kurva epidemi, pemerintah bisa memastikan kapan waktu yang tepat untuk melonggarkan PSBB maupun memperketat PSBB. 

Sejauh ini Iqbal menilai pemerintah belum memberikan transparansi data Covid-19. Indikasinya belum belum ada tanggal pemeriksaan dan jumlah kasus meninggal dunia tanpa hasil uji laboratorium.

Itu membuat ahli kesulitan membuat kurva epidemi hingga akhirnya membuat prediksi menggunakan data yang berasal dari luar negeri.

"Tanggal itu informasi yang berharga, kita bisa tahu periode inkubasi dan case fatality rate (tingkat kematian), selama ini kami (peneliti) membuat prediksi menggunakan data dari luar negeri," ucapnya.

Menurut penelitian Johns Hopkins University, case fatality rate Covid-19 di Indonesia sebesar 6,9 persen, lebih tinggi dari rata-rata CFR dunia yang diungkapkan WHO sebesar 3,4 persen.

Untuk wilayah Asia Tenggara, CFR Indonesia juga masih yang tertinggi. Per tanggal 10 Mei 2020, CFR tertinggi kedua setelah Indonesia adalah Filipina dengan 6,7 persen, kemudian Thailand 1,9 persen, Malaysia 1,6 persen dan Singapura 0,1 persen, sementara Vietnam tidak mencatatkan kasus kematian.

Pemerintah sempat mengklaim terjadi pelambatan kasus Covid-19 di Indonesia pada pertengahan Maret hingga akhir April 2020. Meski demikian PSBB tetap diberlakukan di beberapa wilayah di Indonesia. (mln/wis)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER