Jakarta, CNN Indonesia -- Partai Gelombang Rakyat (
Gelora) Indonesia belum menentukan sikap terkait wacana kenaikan
ambang batas parlemen alias parliamentary threshold (PT) dari 4 menjadi 7 persen.
Sekretaris Jenderal Partai Gelora Mahfudz Siddiq menyampaikan bahwa partainya melihat hal yang lebih penting atau darurat untuk dibahas dalam revisi Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) yakni soal pelaksanaan pemilihan anggota legislatif (pileg) serta pemilihan presiden (pilpres) secara serentak.
Menurutnya, model pelaksanaan secara serentak tersebut membuat ratusan penyelenggara meninggal dunia karena faktor kelelahan di penyelenggaraan Pemilu 2019 silam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"(Gelora) belum menentukan sikap. Itu ada hal yang lebih
urgent untuk jadi usulan revisi yang akan datang yaitu pelaksanaan pilpres dan pileg yang akan datang krena praktek yang lalu ini pengalaman yg menunjukan kompleksnya penyelenggaraan sehingga ratusan petugas meninggal karen kelelahan," kata Mahfudz kepada
CNNIndonesia.com, Rabu (10/6).
"Itu harusnya prioritas revisi. PT tidak terlalu prioritas dan tidak terlalu penting, menurut saya," imbuhnya.
Meski demikian, Mahfudz secara pribadi menyampaikan bahwa menaikkan PT menjadi 7 persen akan melahirkan kecemasan di sejumlah partai politik. Ia berkata, kenaikan PT secara drastis berpotensi melahirkan guncangan politik dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia.
"Dalam penglaman revisi UU Pemilu kenaikan itu dari 1,5 persen, 2,5 persen, 3 persen, kemudian 4 persen, artinya kalau ada kenaikan kisaran 0,5 sampai 1 persen. Kalau sekarang melompat sampai 7 atau 8 persen itu akan menciptakan kejutan dan guncangan politik pemilu," kata eks politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.
Berangkat dari itu, Mahfudz meminta DPR dan pemerintah melihat dua faktor dalam penetapan PT untuk Pemilu 2024 mendatang yakni filosofi representasi keragaman masyarakat Indonesia dalam proses politik serta variabel penyederhanaan parpol.
Terkait filosofi representasi keragaman masyarakat Indonesia dalam proses politik, kata Mahfudz, hal tersebut harus dilihat karena kondisi masyarakat Indonesia yang sangat majemuk. Menurut dia, kemajemukan itu memengaruhi pilihan politik setiap masyarakat.
"Kemajemukan itu harus terepresentasi secara baik dalam sistem pemilu," ujar dia.
Sementara itu, kata Mahfudz, soal variabel penyederhanaan parpol juga harus menjadi pertimbangan. Dia mengutarakan bahwa ide penyederhanaan parpol tak bisa mendorong Indonesia kembali ke era Orde Baru, di mana hanya terdapat tiga parpol.
Menurutnya, jumlah maksimal 15 parpol seperti yang terjadi dalam 20 tahun terakhir merupakan yang terbaik untuk mewakili berbagai aliran politik yang ada di tengah masyarakat Indonesia.
"Kalau ada penyederhanaan ya penyederhanaan itu maksimal 15 parpol dan itu sudah wakili aliran politik di Indonesia. Kalau didorong PT jadi 7 atau 8 persen, sangat mungkin hasilnya penyederhanaan bisa tinggal lima parpol," ujar Mahfudz.
Diketahui, Komisi II DPR RI tengah menggodok tiga opsi terkait PT dalam pembahasan dalam revisi UU Pemilu. Sebanyak tiga opsi itu adalah tetap di angka 4 persen, naik menjadi 7 persen, atau ambang batas yang berjenjang.
(ain/mts/ain)
[Gambas:Video CNN]