Direktur Pusat Studi Hukum dan Hak Asasi Manusia (PUSHAM) UII Eko Riyadi menduga proses peradilan kasus penyiraman air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara intended to fail atau dimaksudkan untuk gagal.
Pernyataan itu ia sampaikan merujuk pada penelitian The International Center for Transitional Justice (ICTJ) tahun 2003 yang berjudul "Intended to Fail". Laporan yang ditulis oleh David Cohen ini menyoroti putusan pengadilan dalam beberapa kasus kejahatan kemanusiaan di Timor Timur, yang sengaja dibuat untuk gagal.
"Jangan-jangan proses peradilannya itu adalah intended to fail sejak awal," kata Eko dalam diskusi webinar 'Novel, Keadilan Sebelah Mata', Rabu (17/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun ia berharap kesimpulannya ini keliru meski sejumlah indikasi menunjukkan kegagalan tersebut.
Eko menuturkan enam indikator yang menggambarkan peradilan dibuat untuk gagal sebagaimana penelitian ICTJ oleh Cohen dalam kasus Timor Timur. Pertama, jaksa gagal dalam membangun dakwaan.
Kegagalan itu, kata Eko, bisa dilihat dalam menyamarkan fakta dan dokumen hukum. Dalam kasus Timor Timur, ia menyinggung investigasi Komnas HAM yang tidak ditindaklanjuti Jaksa di persidangan.
"Dalam kasus yang dibawa peradilan sebenarnya ada banyak fakta yang terjadi di lapangan misal dilihat dari laporan Tim Investigasi Komnas HAM, tetapi ada dugaan bahwa fakta-fakta yang memperkuat dugaan terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan itu memang sering kali disamarkan dan dokumen hukum tidak dibuka secara detail dalam proses peradilan," ujar Eko.
Poin kedua, Eko mengungkapkan proses peradilan gagal membangun logika hukum. Menurut dia, kasus kejahatan terhadap kemanusiaan kemungkinan besar terkait dengan kebijakan institusi yang didorong oleh aktor negara.
Reduksi ini menurut Eko merupakan permasalahan serius karena akan mempengaruhi pertimbangan majelis hakim dalam memutus perkara.
"Tetapi dalam persidangan tersebut, kuat dugaan bahwa proses itu sengaja dilakukan untuk mereduksi kasus, dikecilkan ruang lingkup, fakta-fakta, dan justru yang terjadi proses peradilan dilakukan untuk menutup kemungkinan adanya peristiwa-peristiwa lain, aktor-aktor lain dalam kejadian tersebut," imbuhnya.
Indikator ketiga peradilan intended to fail adalah Kejaksaan Agung gagal menunjukkan spirit penegakan hukum yang kredibel. Terkait kasus teror air keras, Eko menduga Korps Adhyaksa tidak memberikan asistensi yang memadai.
Poin keempat adalah proses peradilan dalam kasus Timor Leste, yang gagal membuktikan tanggung jawab komando atau command responsibility. Ia mengatakan ada satu aspek penting dalam kejahatan kemanusiaan, yakni perintah dari atasan dalam sistem hierarki komando.
"Proses peradilan itu gagal membuktikan terjadinya command responsibility," tandasnya.
Indikator kelima adalah proses peradilan gagal menunjukkan fungsi sebagai kebenaran atau truth function sehingga terjadi pelanggengan impunitas.
Poin keenam, proses peradilan dikerangka dalam aktivitas politik yang membuat peradilan independen bisa dipertanyakan.
Dalam kasus Novel, Eko menerangkan aktivitas politik itu diperlihatkan dengan pengungkapan dua pelaku penyerangan dalam waktu hampir tiga tahun sejak peristiwa terjadi. Belum lagi, lanjut dia, terdapat polemik dalam setiap proses pengungkapan itu.
"Saya merasa ada ketelanjangan untuk memperdaya akal sehat dalam proses peradilan terhadap Mas Novel," tuturnya.
Sementara itu, dua polisi penyiram air keras terhadap Novel, yaitu Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis, dituntut satu tahun pidana penjara.
Para terdakwa terbukti menurut hukum secara sah dan meyakinkan bersama-sama melakukan penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, sehingga menyebabkan Novel mengalami luka berat. Perbuatan itu dilakukan karena terdakwa menganggap Novel telah mengkhianati institusi Polri.
Mereka terbukti melanggar Pasal 353 ayat (2) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dengan ancaman pidana paling lama tujuh tahun penjara.