Salah satu saksi kasus penyiraman air keras terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan meragukan satu dari kedua terdakwa, merupakan pelaku yang asli atau sesungguhnya. Kesaksian saksi tersebut diunggah Amnesty International Indonesia (AII) ke Youtube.
"Sejauh ini saya hanya membandingkan lewat media, untuk satu orang saya tidak melihat karena memakai helm full face, yang jelas ada [satu orang] yang badannya gempal," kata saksi pertama dalam video yang diunggah di kanal Youtube AII, Senin (23/6) kemarin.
Dalam unggahan video ini, sejumlah saksi yang turut bersaksi tidak diungkap identitasnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Diketahui, Novel diserang dua orang tak dikenal usai menunaikan salat subuh di Masjid tak jauh dari rumahnya di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara. Kejadian itu terjadi pada 11 April 2017.
Saksi pertama ini menambahkan dirinya juga ragu bahwa salah satu pelaku adalah orang yang sama dengan salah satu terdakwa yang kini tengah menjalani persidangan.
"Kemudian yang kedua, yang membuka helm dan berdiri, ada beberapa kemiripan dengan salah satu terdakwa, tapi mohon maaf saya rasa bukan orang itu," tambah saksi tersebut.
Saksi pertama tersebut turut mengungkapkan harapannya diundang dalam Pengadilan sebagai saksi untuk memvalidasi pengamatannya itu. Ia juga menambahkan kesaksian saat membawa Novel ke rumah sakit, dan mendengar pembicaraan para tenaga kesehatan yang menyebut serangan terhadap Novel merupakan penyiraman air keras.
Selanjutnya saksi kedua juga memberi keterangannya.Dia mengaku sebulan sebelum aksi penyerangan melihat beberapa orang asing mencurigakan di sekitar kediaman Novel Baswedan.
"Mengapa saya harus memperhatikan mereka? Karena kalau duduk di samping, mereka memperhatikan rumah Pak Novel," ucap saksi kedua.
Banyak Kejanggalan
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Arif Maulana mengaku miris mendapati hasil dakwaan kepada dua terdakwa penyiraman Novel, Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis.
Ia mengaku ada kejanggalan terkait motif para terdakwa dilatarbelakangi atas dendam pribadi yang berkaitan dengan kekecewaan terhadap Novel yang dianggap telah berkhianat terhadap Polri.
Ia juga menilai dalam kasus ini tidak hanya pelaku lapangan yang beraksi, namun lebih dari itu, ada pengintai dan otak intelektual di balik penyerangan tersebut.
"Sudah ditemukan oleh Komnas HAM dan TGPF (Tim gabungan pencari fakta) bentukan Polri bahwa kasus ini berkaitan dengan pekerjaan Novel sebagai penyidik KPK yang menangani kasus-kasus besar. Dan kasus ini juga sistematis, terorganisir," ujarnya.
Selain itu, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Yati Andriyani mengaku ada kejanggalan lainnya dalam kasus Novel, diantaranya seperti pemberian bantuan hukum secara resmi dari Mabes Polri kepada kedua terdakwa yang merupakan anggota aktif kepolisian.
Ia menilai seharusnya kedua terdakwa tidak berhak mendapat bantuan hukum dari Mabes Polri. Meski di satu sisi Yati tak menampik, Polri dapat memberikan bantuan hukum kepada anggotanya sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 3 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Teknis Institusional Peradilan Umum Bagi Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Namun, dalam kasus ini Yati tidak melihat keduanya memenuhi persyaratan sebagaimana PP Nomor 3/2003 bahwa pelaku menjalankan aksi itu sebagai bagian dari tugas kepolisian.
"Tim bantuan hukum Mabes Polri dipimpin langsung oleh Kadivkum Polri Irjen Pol Rudy Heriyanto yang saat peristiwa penyerangan terjadi yang bersangkutan adalah Direktur Reserse Kriminal umum Polda Metro Jaya, yang juga melakukan penyidikan atas kasus ini, sehingga ada konflik kepentingan," jelas Yati.
Merespons banyaknya kejanggalan terhadap kasus penyerangan Novel, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyarankan kasus Novel kembali diinvestigasi. Usman mengatakan, proses investigasi harus dikembalikan ke Tim Pencari Fakta (TPF) independen.
"Apa benar mereka [kedua terdakwa] yang melakukan? jika bukan, cabut dakwaan atau tuntutan itu dan mulai kembali dengan tim investigasi independen pencari fakta," tuturnya.
Sebagaimana diketahui, dalam kasus penyerangan ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut satu tahun penjara menggunakan dakwaan subsider, yakni Pasal 353 ayat (2) KUHP tentang penganiayaan berencana juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Ancaman hukuman pada pasal ini maksimal 7 tahun penjara.
Jaksa tak menggunakan Pasal 355 ayat (1) KUHP tentang penganiayaan berat jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dengan ancaman maksimal 12 tahun penjara. Jaksa berdalih terdakwa tidak memiliki niat untuk melukai Novel.
Dalam perkembangan persidangan dengan agenda tanggapan Jaksa (replik) terhadap nota pembelaan atau pledoi terdakwa di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Senin (22/6) lalu, Jaksa membantah keseluruhan dalil pledoi dua terdakwa pelaku penyiraman air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan dan tetap menuntut kedua terdakwa dengan pidana satu tahun penjara.
(kha/osc)