Jakarta, CNN Indonesia --
Situasi gaduh politik terjadi jelang Pilkada Serentak 2018 setelah Menteri Dalam Negeri (Mendagri) kala itu, Tjahjo Kumolo, terungkap berencana menunjuk dua penjabat atau pelaksana tugas gubernur dari kalangan perwira tinggi Kepolisian Negara Republik Indonesia aktif.
Keduanya, yakni Inspektur Jenderal (Irjen) Martuani Sormin sebagai Penjabat Gubernur Sumatera Utara dan Irjen Mochamad Iriawan sebagai Penjabat Gubernur Jawa barat.
Berbagai kritik dilayangkan menyikapi rencana pemerintah itu, mulai dari dwi fungsi Polri hingga ancaman bagi supremasi sipil. Namun, kritik itu tampaknya tidak terlalu ampuh. Satu dari dua jenderal itu, yakni Iwan Bule-sapaan akrab Mochamad Iriawan pada akhirnya tetap dilantik sebagai Penjabat Gubernur Jawa Barat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penempatan pati Polri di jabatan sipil kembali berlanjut pada 2018. Irjen Setyo Wasisto yang kala itu menjabat sebagai Kepala Divisi Hubungan Masyarakat (Kadiv Humas) Polri dimutasi untuk menduduki jabatan Irjen di Kementerian Perindustrian (Kemenperin). Di jabatan tersebut, pangkat Setyo kemudian dinaikkan menjadi Komisaris Jenderal (komjen).
Langkah memutasi pati Polri untuk menduduki jabatan sipil tak berhenti sampai di situ. Sebanyak tiga orang pati Polri telah ditunjuk untuk menduduki jabatan sipil di 2020 ini.
Mereka adalah Brigadir Jenderal Adi Deriyan yang menduduki jabatan Staf Khusus bidang Keamanan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf), Irjen Andap Budhi Revianto yang menduduki jabatan Irjen Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), serta Irjen Reinhard Silitonga yang menduduki jabatan Direktur Jenderal Pemasyarakatan (Dirjen PAS) Kemenkumham.
Ketiga sosok itu masih tercatat sebagai anggota Polri aktif. Artinya, mereka masih bisa kembali ke institusi Polri bila diperlukan suatu waktu.
Belakangan Komisi III DPR RI sempat ramai-ramai mengkritik langkah Menkumham Yasonna Laoly mengangkat dua pati Polri aktif menjadi pejabat sambil menyinggung soal Dwifungsi ABRI.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Masinton Pasaribu menyarankan agar lembaga pendidikan di bawah Kemenkumham lebih baik ditutup bila Yasonna mengambil sosok dari institusi lain untuk menduduki jabatan di Kemenkumham.
"Buat apa ada politeknik imigrasi, politeknik lain lain kalau mereka tidak bisa jadi Irjen. Tutup saja kalau gitu, buang anggaran," kata Masinton dalam Rapat Kerja Komisi III DPR RI dengan Yasonna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Senin (22/6).
Ia kemudian menyindir, bahwa langkah Yasonna itu membuat anak-anak di Indonesia tidak perlu lagi menempuh pendidikan hingga tingkat universitas. Sebab untuk menjadi pejabat sipil seseorang cukup menempuh pendidikan di Akademi Kepolisian (Akpol) atau Akademi Militer (Akmil) saja.
Masinton juga mengungkit era Orde Baru ketika lulusan Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Akabri) bisa mengisi jabatan di seluruh pemerintahan dan menjadi kepala daerah.
"Kalau begini kejadiannya anak kita enggak usah sekolah, enggak usah kuliah tinggi-tinggi. Masuk Akpol dan Akmil saja, nanti akan masuk pejabat sipil tanpa harus mundur," katanya.
"Dulu kenapa kita menentang yang namanya dwifungsi ABRI, sehingga semua equal, tidak ada supremasi dari satu institusi dalam pengelolaan negara tadi," kata dia.
Senada, anggota Komisi III DPR dari Demokrat, Benny Kabur Harman juga mengungkapkan hal yang sama. Bahkan, ia meminta agar dua perwira tinggi Polri itu dikembalikan.
"Kembalikan mereka ke institusi aslinya. Tegas kita tolak itu," kata Benny.
Menyikapi, Yasonna berdalih bahwa pengangkatan dua perwira tinggi Polri itu sesuai kebutuhan organisasi. Ia mengklaim bahwa mereka merupakan kompetensi yang dibutuhkan oleh Kemenkumham.
"PP memungkinkan itu. Kami Kemenkumham membutuhkan pada kesempatan ini. Ini kebutuhan organisasi," ujar Yasonna.
(bersambung ke halaman selanjutnya....)
Pakar kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah menyayangkan kebijakan mutasi pati Polri aktif ke jabatan sipil di level kementerian, lembaga negara, atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Menurutnya, kebijakan ini tidak tepat karena akan melunturkan kepercayaan publik terhadap kementerian, lembaga, atau BUMN yang salah satu jabatannya diduduki oleh pati Polri aktif itu.
"Misalnya, dia di Kemenkumham ya Kemenkumham kurang mendapatkan public trust. Ini masalahnya kepercayaan publik," kata Trubus saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, Senin (29/6).
Ia menyatakan kebijakan ini berpotensi melahirkan konflik internal di dalam kementerian, lembaga, atau BUMN yang ditempati pati Polri aktif tersebut.
Menurutnya, kebijakan ini juga telah berdampak pada menurunnya kinerja sejumlah Aparatur Sipil Negara (ASN) di beberapa kementerian selama masa pandemi virus corona (Covid-19), sebagaimana dikatakan Menteri Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Tjahjo Kumolo, beberapa waktu lalu.
"Belakangan, seperti dikatakan Tjahjo, karena selama pandemi banyak ASN tidak kerja maksimal lalu mau dilakukan pemangkasan [bisa jadi] termasuk ada polisi ini bikin ASN kurang bekerja. Ada faktor orang luar, padahal posisi itu yang diharapkan mereka [ASN] yang dari bawah," ucapnya.
Berangkat dari itu, Trubus menyarankan agar Polri melakukan pembenahan. Ia menyadari jumlah jabatan di lingkungan Polri tidak cukup untuk menampung banyaknya pati Polri aktif saat ini.
Namun, dia menegaskan, hal itu tidak bisa menjadi dalih memutasi pati Polri untuk menduduki jabatan sipil. Menurut Trubus berbagai langkah seperti moratorium perwira yang hendak mengikuti pendidikan, pembentukan organisasi baru di lingkungan Polri, atau penawaran pensiun dini terhadap pati Polri yang tidak mendapatkan jabatan di lingkungan Polri bisa menjadi solusi.
"Organisasi digemukan saja untuk menampung mereka yang sudah senior," ucap Trubus.
Merusak Generasi Muda Polri
Senada, pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, mengatakan mutasi pati Polri ke jabatan sipil merupakan kebijakan yang tidak sehat dan berpotensi merusak generasi muda Polri.
Menurutnya, kebijakan ini bisa membuat generasi muda di Polri semakin erat dengan hubungan yang bersifat politik dan tidak menjaga profesionalisme sebagai polisi.
"Ini sangat tidak sehat untuk Polri dan pemerintah karena ke depan generasi muda Polri tidak menutup kemungkinan akan semakin menempel pada pada hubungan poltik dan tidak menjaga profesionalisme terkait karier mereka," kata Bambang.
Dia berkata, seluruh anggota Polri harus menjaga iman dan kembali mengingat janji yang telah diucapkan saat dilantik menjadi anggota Korps Bhayangkara. Menurut Bambang, hal ini penting demi mewujudkan institusi Polri yang profesional dan mencegah rezim Jokowi berakhir sebelum 2024.
Lebih jauh, Bambang berkata bahwa Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri perlu segera direvisi untuk mencegah mutasi anggota Polri ke jabatan sipil lebih masif di hari mendatang. Menurutnya, regulasi di Polri harus mengatur secara ketat seperti regulasi yang dimiliki TNI, di mana seorang tentara aktif yang hendak menduduki jabatan sipil harus meninggalkan status sebagai tentara lebih dahulu.
"Di militer itu ada aturan, bagaimana seorang anggota aktif duduk di jabatan luar militer, mereka harus mundur. [Anggota] Polri juga seharusnya seperti itu, sehingga tidak terjadi dualisme atau konflik kepentingan terhadap jabatan itu. Kalau ini diteruskan, rezim Jokowi berakhir sebelum 2024," ucap Bambang.
Terpisah, pengamat kepolisian dari Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane juga menyatakan bahwa memutasi pati Polri aktif ke jabatan sipil merupakan kebijakan yang tidak sehat. Menurutnya, perlu dilakukan moratorium atau pengurangan jumlah calon polisi yang diterima lewat jalur Akadami Kepolisian untuk mencegah penumpukan anggota Polri di level perwiran menengah (pamen) atau pati.
"Di level atas direkrut 300-400 Akpol, ini akibatnya penumpukan di level tengah dan atas akibatnya banyak perwira berpangkat komisaris besar menganggur, dan diadakan posisi-posisi yang tidak berguna bagi masyarakat," ujarnya.
"Termasuk peningkatan polda ke tipe A, sekarang polda tipe B tidak ada. Nah, itu tidak berguna untuk masyarakat hanya memperbanyak jabatan jenderal dan menyedot anggaran Polri," katanya.
Dia menambahkan, jumlah anggota Polri yang diperbanyak seharusnya hanya yang melalui jalur Sekolah Kepolisian Negara (SPN). Bagi Neta jumlah polisi yang perlu diperbanyak adalah mereka yang bertugas di lapangan, bukan di belakang meja seperti saat ini.