Proses Penerimaan Peserta Didik Baru atau PPDB DKI Jakarta 2020 hampir mencapai titik akhir. Tahapan PPDB DKI, di luar paket kesetaraan, bakal berakhir 8 Juli 2020.
PPDB tahap akhir masih dibuka 7 sampai 8 Juli untuk calon siswa yang belum mendaftarkan diri sebagai peserta karena kendala tertentu. Namun seleksi jalur afirmasi, zonasi, dan prestasi yang menjadi jalur umum peserta masuk sekolah negeri di DKI sudah berakhir.
Selama prosesnya PPDB DKI 2020 tak berjalan mulus. Banyak masalah, salah satunya soal kriteria usia pada jalur zonasi yang diprotes para orang tua.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dinas Pendidikan DKI Jakarta pun sudah membuka PPDB jalur zonasi bina rukun warga (RW) untuk merespons keluh dan protes orang tua terkait aturan usia pada jalur afirmasi dan zonasi. Dengan membuka jalur ini, Disdik DKI berniat memberikan solusi kepada siswa yang gagal lolos karena terganjal usia.
Namun upaya Disdik DKI justru dinilai tak solutif. Pengamat Pendidikan dari Komnas Pendidikan, Andreas Tambah menilai Disdik DKI hanya berputar-putar pada 'kubangan' masalah, alih-alih menyelesaikan.
"Apakah itu [jalur zonasi bina RW] menyelesaikan masalah? Nggak. Karena banyak orang tinggi di samping, belakang sekolah tapi RW-nya sudah beda," kata Andreas kepada CNNIndonesia.com, Selasa (7/7).
Pada jalur zonasi bina RW, peserta hanya bisa memilih satu sekolah di RW domisilinya. Berbeda dengan jalur zonasi, dimana peserta bisa memilih sekolah di kelurahan domisili maupun kelurahan tetangga.
Hal ini dinilai bermasalah menurut Andreas maupun orang tua yang mengeluh tak bisa mendaftar. Karena tidak semua RW di Jakarta memiliki sekolah negeri.
Sedangkan banyak orang tua yang rumahnya hanya berjarak 200 sampai 500 meter dari sekolah negeri terdekat, tapi tidak bisa mendaftar karena tidak satu RW.
Andreas mengatakan kebijakan ini hanya makin mempersempit kesempatan warga masuk sekolah negeri. Ia menilai seharusnya Disdik DKI tinggal menetapkan jarak sebagai faktor utama pemeringkatan, seperti tuntutan banyak orang.
"Jadi kenapa sih kebijakannya harus muter-muter? Kan jadi nggak jelas," ujarnya.
Ia menilai aturan usia memang jadi pemicu kisruh PPDB DKI. Namun menurutnya permasalahan tak hanya berhenti di tangan DKI, tapi juga melibatkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Pasalnya aturan usia pertama kali dicetuskan pemerintah pusat melalui Peraturan Mendikbud No. 44 Tahun 2019 tentang PPDB TK, SD, SMP, SMA dan SMK.
Diketahui pemerintah pusat tak menilai ada yang salah dari PPDB DKI. Kemendikbud mengaku aturan usia sudah sesuai Permendikbud No. 44 Tahun 2019.
Plt. Direktur Jenderal PAUD, Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbud, Muhammad Hamid mengatakan Permendikbud tersebut dibuat untuk mengakomodir siswa yang kurang mampu. Katanya, mereka yang berlatar ekonomi menengah ke bawah kerap tersingkir pada PPDB jika nilai dijadikan faktor pemeringkat utama.
"Paling banyak masyarakat kelompok menengah ke bawah tersingkir karena sistem seleksi [PPDB dengan] UN. Yang kita tahu nilai UN anak yang tinggi biasanya berasal dari kelompok ekonomi menengah ke atas," ujar Hamid, Selasa (30/6) lalu.
![]() |
Di samping itu perkara kuota sekolah yang tidak memenuhi jumlah siswa alih jenjang juga jadi permasalahan. Disdik DKI mengaku daya tampung tidak mencukupi jika semua siswa lulus SD dan SMP ingin masuk sekolah negeri.
Untuk jenjang SMP daya tampung sekolah negeri mencakup 70.702 siswa. Sedangkan jumlah siswa lulusan SD di Jakarta sebanyak 153.016 siswa. Artinya kuota SMP negeri memenuhi 46,21 persen keseluruhan siswa lulusan SD.
Jika dihitung berdasarkan jumlah peserta yang masuk seleksi PPDB, belum termasuk jalur zonasi bina RW, ada 99.541 siswa lulusan SD yang tidak bisa masuk SMP negeri.
Kemudian untuk SMA negeri, daya tampung sekolah negeri sebanyak 28.428 siswa. Dan daya tampung SMK negeri sebanyak 19.182 siswa. Sedangkan jumlah lulusan SMP ada 144.598 siswa. Artinya SMA dan SMK negeri memenuhi 32,93 persen keseluruhan siswa lulusan SMP.
Jika dihitung berdasarkan jumlah peserta yang masuk seleksi PPDB, belum termasuk jalur zonasi bina RW, ada 118.852 siswa lulusan SD yang tidak bisa masuk SMA dan SMK negeri.
Potensi Banyak Anak Putus Sekolah
Dengan kondisi pandemi yang berdampak pada ekonomi masyarakat, Andreas khawatir hal ini bisa memicu peningkatan angka putus sekolah. Untuk itu ia menilai pemerintah harusnya bisa mengintervensi agar hal ini tidak terjadi. Caranya dengan memastikan yang masuk sekolah negeri diprioritaskan dari kalangan ekonomi menengah ke bawah.
"Kalau nanti masih ada lebih kursinya maka dilakukan seleksi berdasarkan nilai. Pastikan anak miskin tidak boleh putus sekolah. Karena orang yang mampu bisa masuk [sekolah] swasta," jelasnya.
Dengan penerapan seperti ini pemerintah bisa memastikan angka putus sekolah untuk siswa kurang mampu tidak meningkat. Dan sekolah swasta juga bisa terus berkembang.
Kendati demikian hal ini perlu dipastikan benar-benar tepat sasaran. Sejumlah orang tua dalam rentetan aksi demo PPDB mengaku anaknya tak lolos jalur afirmasi padahal memegang Kartu Jakarta Pintar (KJP). Mereka juga turut tertendang karena usia.
"Katanya untuk pemerataan, tapi mengorbankan banyak orang. (Kalau syaratnya dari) usia itu bukan cuma untuk orang miskin, orang kaya juga bisa lolos," ujar Nining, salah satu orang tua yang berdemo depan Balai Kota DKI Jakarta, Selasa (23/6).
(fey/osc)