IDI Ungkap Sebab Kasus Corona Masih Sangat Tinggi di Jatim

CNN Indonesia
Sabtu, 11 Jul 2020 02:42 WIB
Petugas melakukan swab test atau tes usap pada santri Pondok Pesantren Moderen Gontor Darussalam untuk melakukan di gedung Universitas Islam Negeri (UIN), Imam Bonjol Padang, Sumatera Barat, Kamis (11/6/2020). Sebanyak 138 santri yang berasal dari Sumatera Barat melaksanakan pengambilan tes usap sebagai salah satu syarat untuk kembali ke Pondok Pesantren Moderen Gontor Darussalam di Provinsi Jawa Timur. ANTARA FOTO/Muhammad Arif Pribadi/aww.
Ilustrasi tenaga medis khusus penanganan virus corona (ANTARA FOTO/Muhammad Arif Pribadi)
Jakarta, CNN Indonesia --

Ketua Satgas Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jawa Timur Achmad C. Romdhoni mengungkapkan sejumlah kendala yang menyebabkan kasus virus corona di Jawa Timur masih tinggi. Target Presiden Joko Widodo agar Jatim segera mengendalikan persebaran kasus selama dua pekan pun tak tercapai.

Berdasarkan data 10 Juli 2020, jumlah kasus corona di Jatim mencapai 15.484 kasus. Tertinggi tingkat nasional.

"Permasalahannya ada di hulu. Apabila hulu tidak tergarap dengan baik, maka kasus di hilir menumpuk," ujar Achmad dalam webinar yang disiarkan via internet, Jumat (10/7).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Permasalahan di hulu yang dia maksud adalah banyak warga yang tidak patuh dengan protokol kesehatan seperti memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak. Menurutnya, tak sedikit warga Jatim yang tak khawatir dengan persebaran virus corona.

"Cara pandang masyarakat terhadap Covid harus dibetulkan. Kalau visi tidak sama akan sulit mengarahkan program dapat berjalan dengan baik. Presiden mengarahkan tapi kalau visi tidak sama, sulit," katanya.

Ketidakpatuhan warga, pernah ditemui Achmad dari sejumlah warga di kawasan Ampel, Surabaya. Mayoritas warga tak menggunakan masker. Itu hanya contoh di salah satu kawasan.

"Saya jalan di Ampel itu enggak ada yang pakai masker. Jadi perlu kita sadarkan. Meski ini tidak mudah, mau tidak mau harus ada langkah tegas," ucap Achmad.

Kendala lain, lanjut Achmad, fasilitas alat tes polymerase chain reaction (PCR) yang minim dan mahal. Belum semua rumah sakit di Jatim memiliki fasilitas alat PCR.

Selain itu, waktu tunggu hasil tes juga cukup lama. Akibatnya, penentuan kasus positif atau negatif menjadi terlambat.

"Ada yang tiga hari, ada yang baru Sabtu-Minggu, ada juga yang 14 hari," katanya.

Achmad menilai perlu penegakan diagnosis yang cepat. Salah satunya melalui Tes Cepat Molekuler (TCM) dan memperbesar kapasitas PCR.

Idealnya, pengetesan dilakukan dengan jumlah 3.500 per 1 juta penduduk. Sementara jumlah pengetesan saat ini rata-rata masih di angka 2.000. Kendala lain adalah kekurangan ventilator dan tenaga yang terlatih mengoperasikan.

"Sebesar RS dr Soetomo pun kesulitan," tuturnya.

Achmad juga menyoroti persoalan yang dihadapi ibu hamil. Di Surabaya tercatat ada 3.500 ibu hamil dan hampir 10 persen dari jumlah tersebut terpapar corona.

"Saat ini yang dilakukan RS terhadap penapisan bumil hanya pakai rapid. Padahal rapid tidak berguna kata WHO. RS bersalin khusus Covid perlu dipikirkan," jelasnya.

Kendala selanjutnya adalah masih ada stigma pada tenaga kesehatan. Umumnya, para tenaga kesehatan mendapat penolakan di tempat tinggal hingga dari keluarga pasien.

Ia juga menyinggung stigma pada rumah sakit yang dituduh memanfaatkan lahan bisnis dalam penanganan corona. Dia kecewa dengan pihak-pihak yang beranggapan demikian.

"Stigma layanan kesehatan bisnis dalam Covid ini menyakitkan," ujarnya.

(psp/bmw)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER