Bobrok Rutan versi Eks Tapol Papua: Pemalakan hingga Narkoba

CNN Indonesia
Senin, 13 Jul 2020 07:38 WIB
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menunda sidang perdana dengan agenda pembacaan dakwaan terhadap enam tahanan politik Papua, Surya Anta Cs.
Aktivis sekaligus eks tapol Papua, Surya Anta. (CNN Indonesia/Michael Josua Stefanus).
Jakarta, CNN Indonesia --

Aktivis Papua, Surya Anta bebas dari penjara usai menjalani masa hukuman atas vonis pidana makar sejak Agustus 2019 lalu. Setelah keluar, eks tapol Papua itu membagikan pengalamannya selama berada di Rumah Tahanan (Rutan) Salemba, Jakarta Pusat.

Kebobrokan Rutan Salemba itu ia ungkap lewat Twitter. Di hari pertama masuk Rutan Salemba, ia bersama rekan-rekannya langsung mengalami pemalakan dari tahanan lama. Angkanya bervariasi, ia dipalak sebesar Rp1 juta. Sementara rekannya lain dimintai uang sebesar Rp3 juta.

"Akhirnya kami ber 5 bayar 500 ribu setelah tahanan lain tahu kami aktivis bukan anak pejabat," kata Surya dalam akun Twitter resminya @Suryaanta, kemarin.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Surya bersama rekannya, Ambros, Dano, Isay, dan Charles awalnya ditempatkan di ruang penampungan atau ruangan masa pengenalan lingkungan (mapaling) di Rutan Salemba. Mapaling merupakan hal biasa dilakukan sebelum ditempatkan ke kamar tahanan.

Mereka mendiami ruangan mapaling selama sebulan atau selama 18 November-19 Desember 2019 bersama ratusan tahanan lainnya.

Surya mengungkapkan kondisi ruang penampungan itu tak manusiawi. Saat itu terdapat 410 tahanan yang dikumpulkan dalam satu ruangan yang tak terlalu besar.

Tak jarang, para tahanan harus mengatur posisi badan dalam posisi miring agar bisa tidur dengan nyenyak. Tak cuma itu, air yang tersedia di penampungan juga tak layak minum.

"Toilet cuma 2. tahanan tidur kaya ikan dijejer, tak jarang agar bisa tidur badan miring. Airnya berasa ada yang lengket. Para tahanan jadi sakit tenggorokan," kata Surya disertai dengan foto yang diunggahnya. Tampak juga sekitar ratusan tahanan tidur berjejer berhimpitan satu sama lain.

Selain itu, Surya turut menemukan praktik jual-beli narkotika lazim ditemukan di Rutan Salemba. Bahkan, ia menyaksikan sendiri para tahanan yang menjadi bandar bebas berkeliaran menjajakan narkotika seperti sabu dan ganja kepada para tahanan lainnya.

Ia bahkan menyatakan tindakan tersebut diketahui dan tak digubris oleh para penjaga rutan.

Setelah berada selama sebulan di 'barak' penampungan Rutan, Surya bersama rekan-rekannya dipindahkan ke Blok J Rutan Salemba kamar 18. Mereka dipindah setelah ada tekanan dari rekannya sesama aktivis yang berjuang dari luar penjara.

Saat menempati kamar 18, Surya terkejut lantaran bersebelahan dengan kamar yang disebutnya sebagai 'apotek', yakni tempat pembuatan dan produksi sabu.

"Kamar atas belakang Dano itu adalah Kamar "Apotik", kamar penjualan Sabu. Petugas tahu soal ini. Heran kenapa kami ditempatkan di kamar J18 yg ada apotik sabu," kata dia.

Surya sendiri turut mengunggah beberapa dokumentasi foto yang diambilnya sendiri yang diambil dengan ponsel. Sambil berseloroh, ia menyatakan keberadaan ponsel pintar sudah lazim ditemui di Rutan Salemba.

"Oh ya, kenapa bisa ada dokumentasi ini bisa ada. karena di rutan jual beli & servis HP ada. Bisnis narkoba lancar. Bisnis transfer & terima uang kiriman juga lancar. Warung makanan ada. Petugas tahu itu. Jual beli parfum ada. Yang gak ada prostitusi, sebemhm 2016 kata para Napi lama ada," kata Surya.

Selain itu, Surya juga mengungkapkan fenomena praktik jual beli kamar oleh oknum di Rutan Salemba. Ia menyebutnya dengan sebutan uang 'tiket masuk kamar'. Ia menyatakan praktik tersebut terjadi ketika narapidana menyetor sejumlah uang untuk menempati kamar tahanan tertentu.

Alhasil, terjadi strata atau kelas sosial di dalam penjara. Surya menyebut para tahanan yang tak memiliki uang terpaksa tidur di lorong-lorong karena tak mampu membayar 'tiket masuk kamar'.

Sementara, bagi narapidana yang memiliki cukup uang bisa menempati ruang tahanan di Blok O yang ditaksir mencapai harga 'sewa' Rp50-70 juta.

"Napi Kaya, koruptor misalnya, bisa beli kamar di Blok O seharga 50-70 juta. belum uang Mingguannya. Gak perlu masuk Penampungan atau Mapenaling dulu kayak kami selama 1 bulan. Bahkan Napi dari blok lain gak bisa main2 ke Blok O ini," kata Surya.

Surya mengakui mengalami keterbatasan yang sangat selama menjalani masa hukuman di rutan Salemba. Ia menyatakan selama ini negara tak menanggung semua kebutuhan para narapidana di penjara.

Ia menyatakan pelbagai bahan pokok hanya disediakan oleh pihak rutan dengan jumlah yang sangat sedikit. Melihat hal itu, ia bersama rekannya sesama tapol Papua harus memasak dan membeli lauk pauk menggunakan uang sendiri.

"Air juga kami beli sendiri. Galonnya juga beli. Kalau ada kerusakan listrik bayar pakai uang sendiri. Tahanan lain bayar uang kamar dan bayar uang mingguan. Kami tidak bayar karena pihak Penjara khawatir dengan tekanan publik atas kami. Dan lobby kawan-kawan agar kami tak tidur di lorong," kata Surya.

Dengan biaya hidup yang tinggi di penjara, Surya melihat banyak narapidana yang 'bekerja sambilan'. Misal, ada tahanan yang terpaksa menyopet, mencuri, servis elektronik, hingga jualan narkoba.

"Karema biaya hidup di penjara mahal. Survival napi macem-macem. Ada yang nyopet. Ada yamg nyiletin kantung temannya. servis elektronik. Pijat. Jadibtamping (Tahanan Pendamping) yang juga ada beberapa yang mesti bayar. Jualan nasi. Jualan narkoba. Atau jd BNN (bagian Nagih-nagih) alias tukang pukul," kata Surya.

CNNIndonesia.com telah berusaha menghubungi Kabag Humas dan Protokol Ditjenpas Rika Apriyanti. Namun yang bersangkutan tak merespons sampai berita ini diterbitkan.

(rzr/osc)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER