Salah satu mahasiswa Universitas Nasional (Unas) Wahyu Krisna Aji, yang dikenakan sanksi drop out (DO) mengaku menerima sejumlah intimidasi dari pihak kampus. Dia diberhentikan sebagai mahasiswa karena mengkritisi kebijakan terkait Uang Kuliah Tunggal (UKT).
Intimidasi itu mulanya dia alami bersama 26 mahasiswa lain ketika mereka dipanggil pihak universitas untuk melakukan klarifikasi.
"[Awalnya] kami mengkritisi kebijakan [kampus terkait pemotongan UKT] melalui kampanye media sosial dengan hastag Unas Gawat Darurat. Nah, dari hal tersebut kampus merespons dengan memanggil 27 mahasiswa yang terlibat dalam kampanye," ujarnya kepada CNNIndonesia.com di Senayan, Jakarta Selatan, Selasa (14/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada pertemuan itu, kata Krisna, pihaknya ditekan agar menandatangani surat pernyataan yang menyatakan bahwa mereka mengaku bersalah dan tidak akan melanjutkan kampanye tersebut.
Tekanan pihak kampus agar mereka menandatangani surat pernyataan tersebut diiringi dengan paksaan dan ancaman. Bahkan, menurutnya, pihak kampus mengancam mahasiswa bisa dipidanakan.
"Ada konsekuensi [jika tidak menandatangani] yaitu SK DO, skorsing, atau dipidanakan dengan dalih UU ITE oleh pihak kampus," ceritanya.
Kendati mendapat ancaman, Krisna tetap berkeras dan tak mau menandatangani surat tersebut. Bersama rekan mahasiswa lainnya, ia justru mengadakan aksi di depan kampus pada 10-12 Juni.
Dalam rentetan aksi tersebut, ia dan sejumlah mahasiswa lainnya menerima intimidasi dan kekerasan fisik berupa pemukulan sampai penerobosan barisan massa aksi dengan mobil.
"Mereka memukul barisan massa aksi dengan petugas keamanan berseragam dan tidak berseragam," ujarnya.
"Teman-teman juga sempat dapat tindakan yang cukup parah. Karena barisan massa aksi diterobos oleh mobil dari pihak rektorat," lanjut Krisna.
![]() |
Buntut dari aksi-aksi tersebut, Krisna bersama dua mahasiswa lain, Deodatus Sunda dan Abia Indau, menerima surat keputusan drop out ata DO dari kampus.
Selain itu tiga mahasiswa di-skorsing dan sembilan mahasiswa mendapat surat peringatan keras dari pihak kampus.
Krisna sendiri menilai langkah Unas memberikan sanksi kepada mahasiswa tidak seharusnya dilakukan. Terlebih karena menurutnya dalih pemberian sanksi yang disampaikan kampus tidak jelas.
Misalnya pada kasusnya, sanksi DO diberikan dengan alasan Krisna mencemarkan nama baik kampus. Namun hingga kini Krisna tak pernah mendapat penjelasan pencemaran seperti apa yang dimaksud tersebut.
Pada hari ini, Krisna dan 10 orang rekan mahasiswa mendatangi kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk melakukan audiensi dengan Mendikbud Nadiem Makarim.
Namun pihak Kemendikbud menyatakan sejumlah pejabat terkait tengah bekerja dari rumah. Pihak Kemendikbud akan memberikan kabar dalam waktu dekat untuk menindaklanjuti audiensi terkait hal ini.
Unas telah mengklarifikasi soal skorsing hingga pemberhentian permanen (DO) untuk beberapa mahasiswa melalui SK Dekan.
Ketua PBH Unas Tb. Mochammad Ali Asghar mengatakan keputusan tersebut bukan serta merta karena demonstrasi mahasiswa tetapi disebabkan oknum mahasiswa yang melakukan tindakan perusakan. Beberapa di antaranya intimidasi, tindakan kekerasan pada karyawan bahkan perusakan mobil dosen ketika melintas di depan gerbang kampus.
"Unas tidak melarang dan menghargai siapapun termasuk mahasiswa untuk menyalurkan pendapatnya di muka umum, namun, semua itu harus dilakukan dengan baik dan santun. Tidak membahayakan orang lain, apalagi cenderung bertindak anarkis," kata Mochammad Ali Asghar.
Dalam kasus ini, pihak Unas juga telah melayangkan laporan ke kepolisian atas tuduhan pencemaran nama baik oleh mereka.
Dalam laporan tersebut, pihak Unas keberatan terhadap unggahan di media sosial yang dilakukan salah satu mahasiswa. Unggahan itu berisi sejumlah tudingan yang menyatakan bahwa Unas telah melakukan pemotongan gaji karyawan dan korupsi. Unas membantah tuduhan itu.
(fey/pmg)