Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) berencana membawa persoalan buruh migran Indonesia yang mengalami perlakuan tidak manusiawi saat ditahan di Pusat Tahanan Sementara (PTS) di Sabah, Malaysia, ke ranah internasional, termasuk PBB.
"Ini adalah problem yang serius. Oleh karenanya kami akan mencoba juga mengangkat kasus ini menjadi problem internasional," kata Komisioner Komnas HAM Choirul Anam dalam konferensi pers virtual, Rabu (5/8).
Koalisi Buruh Migran Berdaulat sebelumnya mengungkap temuan pelanggaran HAM yang dialami buruh migran Indonesia saat ditahan di Pusat Tahanan Sementara (PTS) di Sabah, Malaysia, sebelum dideportasi karena persoalan dokumen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Choirul, secara konsep HAM, kasus itu dimungkinkan untuk dibawa ke ranah internasional. Pihaknya akan mencoba berdialog dengan pelapor khusus PBB untuk Hak Asasi Migran untuk mencari jalan keluar dari kasus itu.
"Saya kira poin temuan itu tidak sekadar menyelesaikan kasus yang ada sekarang. Tapi memastikan bahwa kasus ini tidak boleh terjadi lagi harus ada jalan keluar permanen," kata dia.
Selain itu, ia juga meminta kepada Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) dan lembaga terkait lainnya untuk memberikan perhatian serius terhadap permasalahan itu.
"Tidak hanya BP2MI dan berbagai lembaga di daerahnya yang kita sasar, tapi juga para Gubernur, atau kepala daerahnya, karena secara historical, mereka (buruh migran) adalah warganya," ucap dia.
Dalam laporan Koalisi Buruh Migran Berdaulat, temuan pelanggaran HAM itu mereka dapatkan dengan mengumpulkan informasi dan melakukan wawancara terhadap 33 orang pekerja migran saat proses deportasi melalui pelabuhan Parepare, Sulawesi Selatan.
"Kami mendapatkan temuan terjadinya pelanggaran HAM yang berlangsung secara sistematis dan massal. Mereka (buruh migran) mengalami penangkapan, penahanan, menjalani hukuman di penjara, penyiksaan di PTS, kemudian dideportasi," kata dia, Rabu (5/8)
Bentuknya, akses terbatas terhadap fasilitas kesehatan, air minum, dan makanan yang layak. Selain itu, para imigran dilarang berkomunikasi dengan keluarga, bahkan keluarga tidak diizinkan untuk melihat jenazah jika ada yang meninggal.
Tak ketinggalan, ada pungli oleh petugas PTS terhadap uang kiriman kepada keluarga dan juga makanan.
Kasus dugaan pelanggaran HAM di lokasi detensi imigrasi juga sempat diungkap oleh Al Jazeera lewat dokumenter "Locked Up in Malaysia's Lockdown".
Dalam program investigasinya, "101 East", disiarkan pada 3 Juli, Al Jazeera memperlihatkan penahanan terhadap orang asing tak berdokumen imigrasi selama masa lockdown.
Pihak berwenang Malaysia mengklaim penangkapan terhadap para imigran ilegal, pada Mei, diperlukan untuk melindungi kesehatan masyarakat. Namun, kelompok HAM khawatir penempatan mereka di pusat-pusat detensi dapat meningkatkan risiko infeksi Covid-19.
Polisi Malaysia kemudian menginterogasi para jurnalis Al Jazeera karena dianggap menghasut, mencemarkan nama baik, dan mentransmisikan konten ofensif.
(yoa/afp/arh)