Wakil Ketua Umum Partai Gelora, Fahri Hamzah akan menerima anugerah Bintang Mahaputera Nararya dari Presiden Joko Widodo (Jokowi). Fahri menerima tanda jasa ini karena dianggap berjasa selama menjabat wakil ketua DPR 2014-2019.
Jika menilik ke belakang, Fahri merupakan salah satu politikus yang kerap melontarkan kritik keras pada Jokowi. Saat duduk sebagai wakil rakyat, Fahri masih menjadi kader PKS.
Tiada hari tanpa kritik. Mungkin itu yang bisa digambarkan dari sosok Fahri manakala menjadi pimpinan DPR. Tiap kali ditanya terkait kebijakan Jokowi, pasti ia sambut dengan kritik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lontaran kritik Fahri selama periode pertama kemarin mungkin masih terngiang oleh Jokowi. Sampai-sampai, saat bertemu jajaran pengurus Partai Gelora, Jokowi mengaku kangen dengan suara lantang Fahri.
"Banyak yang kangen dengan suara Pak Fahri, saya juga kangen," kata Jokowi ditirukan oleh Sekretaris Jenderal Partai Gelora, Mahfudz Siddiq.
Fahri mengklaim mendapatkan bintang jasa tersebut karena pengabdiannya sebagai anggota DPR selama 15 tahun sekaligus sempat memimpin lembaga negara tersebut.
Berikut adalah deretan kritikan Fahri kepada Jokowi yang sempat mengundang kontroversi di tengah-tengah publik:
Pada medio awal Februari tahun 2018 silam, Fahri Hamzah sempat mengeluarkan 'kartu merah' sebagai bentuk kritiknya terhadap arah bangsa Indonesia saat ini. Meski demikian, Fahri enggan menjelaskan sosok atau institusi yang diberinya kartu merah tersebut.
Aksi kartu merah Fahri itu terjadi saat ia memberikan kata sambutan dalam acara Musyawarah Kerja Nasional I KA KAMMI yang mengangkat tema Arah Baru Indonesia.
Fahri menyatakan, seorang pemain harus dikeluarkan apabila melakukan kesalahan dalam membawa arah bangsa Indonesia.
"Kita harus menjaga rohnya. Makanya, tadi kartu kuning, kalau saya sudah ada kartu merah. Ini jangan salah arah bangsa kita. Kalau salah arah, pemainnya dikeluarin saja," kata Fahri.
Fahri sempat mengkritisi istilah 'bilateral' yang dugunakan Jokowi saat bertemu Presiden FIFA Gianni Infantino. Menurut Fahri, penggunaan istilah tersebut kurang tepat.
Jokowi bertemu Gianni di Bangkok, Thailand pada November 2019 lalu.
Fahri menulis di akun media sosialnya, "Setahu saya istilah #Bilateral itu hanya untuk negara...FIFA bukan negara kan?..wallahualam."
"Poin saya bukan soal bilateralnya, tapi bahwa presiden enggak boleh salah," ujar Fahri saat dikonfirmasi terkait kicauannya.
Baru-baru ini Fahri juga melontarkan kritiknya terhadap Wakil Presiden Ma'ruf Amin. Ia menganggap tugas Ma'ruf hanya sekadar simbolik saja dalam pemerintahan Jokowi periode kedua ini.
Fahri memandang kinerja Ma'ruf tidak bisa dibandingkan dengan pendahulunya Jusuf Kalla (JK). Karena, kata dia, Ma'ruf ditugaskan untuk menjaga simbol partisipasi kelompok Islam di dalam pemerintahan.
"Saya kira tugas Ma'ruf itu menurut saya ya beda dengan tugas JK. Tugas JK mau involved ke manajemen. Tugas Ma'ruf itu simbolik saja, jadi dia menjaga simbol partisipasi kelompok Islam di dalam pemerintahan dan itu yang harus beliau jaga," kata Fahri.
Fahri sempat mengkritik wacana Jokowi yang akan memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke Pulau Kalimantan. Fahri menilai hasil kajian pemindahan ibu kota yang dilakukan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) tak terlalu dalam.
"Saya sudah baca kajiannya, enggak terlalu dalam kajiannya," kata Fahri pertengahan tahun 2019 silam.
Fahri meminta pemerintah tak meneruskan rencana pemindahan ibu kota. Menurutnya, rencana pemindahan ibu kota yang disampaikan Jokowi sama sekali tak masuk akal karena aktivitas pemerintahan sudah terlanjur terbentuk di DKI Jakarta.
Selain itu katanya, pusat bisnis dan perdagangan juga sudah tumbuh di Jakarta.
"Nyaris pemindahan ibu kota tidak masuk akal, makanya saya bilang jangan pindah ibu kota, tapi pindah kantor pemerintahan saja," ujarnya.
Fahri juga sempat mengkritik program Kartu Prakerja yang dicanangkan oleh Jokowi saat kampanye Pilpres 2019.
Fahri menganggap program Jokowi itu mustahil. Selain itu, anggaran yang dibutuhkan akan terlampau besar dan ada beberapa kebutuhan lain yang lebih mendesak.
Menurutnya, yang perlu dilakukan pemerintah dalam menekan angka pengangguran adalah membuka lapangan kerja sebanyak mungkin.
"Ya enggak mungkin, orang nganggur di Indonesia ini kan bisa 100 juta mau dikasih berapa? Punya uang berapa, iya kan?" katanya.
(rzr/fra)