Proses hukum terhadap oknum Jaksa oleh semua aparat penegak hukum kini memerlukan izin dari Jaksa Agung. Ketentuan itu dikritik karena bertentangan dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Diketahui, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin menerbitkan Pedoman Nomor 7 Tahun 2020 tentang pemberian izin Jaksa Agung atas pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan dan penahanan terhadap jaksa yang diduga melakukan tindak pidana.
"Bahwa salah satu bentuk perlindungan terhadap profesi Jaksa diwujudkan dalam bentuk pemberian izin oleh Jaksa Agung atas pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap Jaksa yang diduga melakukan tindak pidana pada saat melaksanakan tugas dan wewenangnya berdasarkan Undang-undang," demikian latar belakang pedoman tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pedoman Nomor 7 Tahun 2020 ini terdiri dari empat bab yakni pendahuluan, tata cara perolehan izin Jaksa Agung, pelaporan dan penutup. Pedoman ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan yaitu 6 Agustus 2020.
Pedoman ini dibuat dengan maksud sebagai acuan terhadap pemberian izin Jaksa Agung atas pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap jaksa yang diduga melakukan tindak pidana. Hal itu sebagaimana ketentuan dalam Pasal 8 Ayat (5) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Permohonan izin untuk memeriksa hingga menahan jaksa harus disertai dengan beberapa syarat seperti diatur dalam poin (2) Bab II. Yakni, surat pemberitahuan dimulainya penyidikan, laporan atau pengaduan, resume penyidikan/ laporan perkembangan penyidikan, dan berita acara pemeriksaan saksi.
![]() |
Selanjutnya Asisten Umum Jaksa Agung, Asisten Khusus Jaksa Agung, atau pejabat lainnya ditunjuk oleh Jaksa Agung melakukan pemeriksaan terhadap permohonan izin di atas berikut kelengkapan syarat.
Permohonan izin pemeriksaan hingga penahanan terhadap jaksa ini bisa diterima atau ditolak. Berdasarkan poin (9) Bab II, persetujuan atau penolakan permohonan izin Jaksa Agung akan disampaikan kepada pimpinan instansi penyidik paling lama 2 hari kerja.
"Penyampaian persetujuan atau penolakan permohonan izin Jaksa Agung sebagaimana dimaksud pada angka (9) disampaikan tembusannya kepada satuan kerja terkait," sebagaimana bunyi poin 10.
Peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhan menduga pedoman itu diterbitkan agar penegak hukum lain tak mengambil alih kasus terkait. Ia secara khusus menduga aturan ini berkaitan denga kasus jaksa Pinangki Sirna Malasari yang tersangkut kasus Djoko Tjandra.
"Pedoman tersebut diduga agar perkara tindak pidana yang baru saja disidik oleh Kejaksaan terkait dengan oknum jaksa tersebut tidak bisa diambil alih begitu saja oleh penegak hukum lain," kata dia, dalam keterangannya, Selasa (11/8).
Menurutnya, pasal 112 KUHAP jelas menyatakan bahwa proses hukum tak memerlukan perizinan dari pihak manapun. Pihak yang dipanggil peyidik pun wajib memenuhinya.
"Penyidik dapat memanggil saksi maupun tersangka dan kedua subjek hukum tersebut wajib memenuhi panggilan penegak hukum tanpa adanya mekanisme perizinan tertentu oleh pihak manapun," kata Kurnia.
![]() |
Oleh sebab itu, ICW mendorong penanganan dugaan kasus gratifikasi yang diduga dilakukan Jaksa Pinangki dapat ditangani KPK.
"Hal ini penting untuk menjamin objektivitas penanganan perkara agar tidak terjadi nuansa konflik kepentingan dalam penanganan perkara tersebut," katanya.
Sementara, hingga berita ini ditulis, pihak Kejaksaan Agung belum dapat dimintai keterangan terkait tudingan ICW tersebut. CNNIndonesia.com, telah berusaha menghubungi Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejagung, Hari Setyono, namun belum mendapat respons.
Kejagung diketahui sebelumnya telah menaikkan proses hukum Jaksa Pinangki ke tahap penyidikan. Status itu naik setelah Jaksa Agung Muda pada Bidang Pidana Khusus (Jampidsus), menelaah laporan hasil pemeriksaan Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) yang diserahkan sepekan sebelumnya.
Hari menyebut, Jampidsus menemukan fakta dugaan pidana dilakukan Pinangki dalam pertemuan dengan Djoko Tjandra beberapa waktu lalu.
Terpisah, Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) akan mendatangi Komisi Kejaksaan (Komjak) untuk menyerahkan dokumen dugaan pelanggaran etik dan pidana korupsi yang diduga dilakukan oleh Jaksa Pinangki.
"MAKI akan menyerahkan informasi dan dokumen terkait dugaan pelanggaran etik dan dugaan pidana korupsi terkait oknum jaksa Pinangki," kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman dalam keterangan tertulis, Selasa (11/8).
![]() |
Boyamin juga menyebut Komjak bisa menyampaikan saran kepada Presiden untuk menegur Jaksa Agung yang terkesan lambat menangani kasus ini.
"Perlu rekomendasi Komjak kepada Presiden untuk menegur Jaksa Agung yang terkesan lamban memproses oknum jaksa Pinangki," imbuhnya.
Diketahui, Pinangki merupakan jaksa yang diduga pernah bertemu Djoko Tjandra saat masih buron dan berada di Malaysia. Foto pertemuan keduanya beredar luas di media sosial.
(ryn/thr/ndn/arh)