Politikus Fahri Hamzah dan Fadli Zon bakal diganjar penghargaan Bintang Mahaputera Nararya dari Presiden Joko Widodo dalam rangka peringatan HUT Ke-75 Kemerdekaan RI. Penghargaan ini menuai kontroversi mengingat Fahri dan Fadli tokoh yang vokal mengkritik pemerintahan Jokowi.
Bintang Mahaputra Nararya merupakan penghargaan sipil tahunan yang diberikan negara kepada orang yang dianggap berjasa.
Sesuai ketentuan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Jasa, dan Tanda Kehormatan, untuk memperoleh tanda kehormatan ini seseorang harus memenuhi syarat, di antaranya berjasa luar biasa di berbagai bidang untuk kemajuan, kesejahteraan, kemakmuran, dan pengabdian serta pengorbanan di bidang sosial, politik, ekonomi, hukum, budaya, ilmu pengetahuan, teknologi, dan bidang lainnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Fahri dan Fadli diketahui merupakan pimpinan DPR yang genap menyelesaikan masa tugasnya sebagai Wakil Ketua DPR periode lalu selama satu periode.
Pengamat politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Arie Sudjito menilai, pemberian penghargaan kepada Fahri dan Fadli itu patut dipertanyakan.
Menurutnya, bukan tidak mungkin penghargaan itu diberikan sebagai upaya untuk meredam kritik yang selama ini kerap disampaikan Fahri dan Fadli.
"Secara politis pasti ada anggapan untuk meredam kritik," ujar Arie saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (11/8).
Menko Polhukam Mahfud MD sebenarnya telah menjelaskan bahwa penghargaan kepada duo F itu dilatari jasanya selama menjabat sebagai pimpinan DPR periode 2014-2019.
Menurut Mahfud, penghargaan diberikan karena keduanya telah purna tugas dari jabatan pimpinan DPR tersebut. Meski kerap mengkritik, pemberian penghargaan itu tetap diberikan karena keduanya dianggap memenuhi syarat.
Kepala Sekretariat Presiden Heru Budi Hartono juga telah menjelaskan bahwa pemberian penghargaan bagi Fahri dan Fadli telah melalui proses seleksi.
"Pasti ada seleksi, kan ada tim pemberian tanda jasa. Tentu dengan berbagai persyaratan," ucapnya, kemarin.
Arie tak keberatan jika Fahri dan Fadli, secara prosedural, dianggap memenuhi syarat untuk menerima penghargaan. Namun, menurutnya, syarat prosedural saja tidak cukup jadi dasar memberikan penghargaan. Terlebih tidak ada ukuran atau penilaian yang jelas bagi keduanya untuk menerima Bintang Mahaputra Nararya.
"Secara moral kultural, apa maknanya penghargaan bintang jasa ini di mata publik. Pemberian bintang jasa ini bukan suatu yang main-main, lho," katanya.
Untuk itu, Arie meminta Jokowi menjelaskan lebih jauh alasan pemberian penghargaan itu kepada Fahri dan Fadli.
Ia menyebut tanpa penjelasan utuh, wajar bila muncul tudingan pemberian bintang jasa itu bentuk bagi-bagi penghargaan.
"Presiden harus menjelaskan itu, karena penganugerahan bintang jasa itu kan representasi negara. Kalau publik ukurannya beda dengan presiden, ya akan mempersulit presiden sendiri. Akhirnya muncul spekulasi bermacam-macam," ucap Arie.
Pengamat politik Universitas Indonesia (UI) Cecep Hidayat, menilai pemberian bintang jasa itu tak lebih dari penghargaan karena Fahri dan Fadli purna tugas dari jabatannya sebagai pimpinan DPR.
Sesuai prosedur, pemberian penghargaan itu juga tak menyalahi aturan.
"Legal formal penjelasannya sederhana, sesuai aturan penerima penghargaan tanda jasa. Sepanjang memenuhi kriteria, ya sudah, tidak ada yang perlu dipersoalkan," ucap Cecep.
Sulit Redam Kritik
Penilaian bahwa pemberian penghargaan itu merupakan bentuk bagi-bagi bintang jasa dinilai Cecep tak tepat. Sebab, berbeda dengan kondisi bagi-bagi jabatan, pemberian penghargaan itu tak akan terlalu berdampak signifikan.
"Bisa saja disebut bagi-bagi bintang jasa. Tapi dampaknya apa sih, kan tidak seperti bagi-bagi jabatan. Ini semacam terima kasih atas jasanya selama ini," ujarnya.
Cecep juga meyakini, kritikan dari Fahri maupun Fadli yang selama ini dilontarkan kepada Jokowi tak lantas redam meski menerima penghargaan.
Ia menilai, keduanya akan tetap kritis meski saat ini Fadli sudah berada di gerbong yang sama dengan Jokowi sejak Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto didapuk sebagai menteri pertahanan.
Sementara Fahri telah 'hijrah' dari PKS ke Partai Gelora bersama sejumlah mantan petinggi PKS, termasuk Anis Matta.
"Kalau sekarang, Fadli secara etika ya partainya termasuk yang berkuasa. Tapi sepertinya sih nggak mungkin ya seorang Fahri dan Fadli kemudian jadi meredam 'mulutnya' hanya karena menerima penghargaan," tutur Cecep.
(psp/wis)