Rahman duduk didampingi para pengemudi ojek online. Jaket hijau seragam ojol melekat di tubuhnya. Selaku Ketua Forum Komunikasi Driver Online Indonesia, Rahman berbicara lantang menyuarakan keluhan komunitasnya.
"Saya menegaskan kembali kepada pemerintah pusat beserta jajarannya, para politisi partai, petinggi partai beserta jajarannya, ke mana hati nurani kalian? Saat ini kami bagian dari bangsa Indonesia menderita atas dampak wabah Covid-19," kata Rahman dalam rekaman video yang beredar di media sosial.
"Ingat, lapar bisa membuat orang menjadi beringas. Lapar bisa mematikan pikiran, membutakan mata hati. Kalian tidak punya mata hati, tidak punya empati, tidak punya perhatian. Jangan salahkan kami juga tidak punya akal sehat dan tidak punya nurani," tambahnya. Kritik itu disampaikan saat konferensi pers di Jalan Guntur Nomor 49, Jakarta Selatan, pada 8 April 2020.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hanya berselang beberapa hari setelah video itu viral, petugas kepolisian tiba-tiba menjemput Rahman di rumahnya. Saat itu ia sedang membagikan sembako untuk para pengemudi ojol di kawasan Kwitang, Jakarta Pusat.
"Sekitar jam 5 sore. Saya mau dimintain keterangan ke kantor (polisi), dengan sukarela saya ikut, saya patuh akan hukum," tutur Rahman menceritakan kejadian itu kepada CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon, Kamis (6/8).
Ia kemudian dibawa ke Markas Polda Metro Jaya. Saat itu statusnya sebagai saksi. Tak lama kemudian status Rahman berubah menjadi tersangka. Kritik yang ia sampaikan dianggap sebagai pesan bernada provokatif.
Rahman mendekam di kantor polisi selama dua malam untuk dimintai keterangan. Ia enggan menjelaskan kejadian selama ditahan. Setelah setuju menyampaikan permohonan maaf, polisi akhirnya melepaskan Rahman.
"Ya, akhirnya (meminta maaf) untuk mencegah hal yang tidak kita inginkan ke depan," ujarnya.
Kini Rahman menjalani wajib lapor kepada polisi seminggu dua kali. Ia tak menyangka kritiknya itu berbuntut ancaman penjara.
Saat itu ia hanya ingin menyampaikan keluh kesah. Mulai dari penghasilan ojol menurun drastis hingga kritik atas larangan mengangkut penumpang saat PSBB. Ojol menurutnya salah satu yang paling menderita karena pandemi. Rahman mengatakan ada rekannya yang diusir dari kontrakan karena tak mampu membayar sewa.
"Saya tidak ada tendensi apa-apa, hanya tendensi berteriak, menyampaikan keluhan. Itu aja kok intinya. Enggak ada maksud lain," kata Rahman.
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus mengatakan polisi memulangkan Rahman setelah ada permintaan maaf dan berjanji tak mengulangi perbuatannya.
"Memang benar dia sempat kami jemput dan kami amankan, tapi kita tidak tahan," kata Yusri ketika itu.
Rahman ditangkap tak lama setelah Kapolri Jenderal Idham Azis menerbitkan instruksi melalui Surat Telegram Nomor ST/1100/IV/HUK.7.1.2020 per tanggal 4 April 2020.
Dalam surat itu, Kapolri menginstruksikan agar jajarannya melaksanakan patroli siber untuk memantau opini, dengan sasaran hoaks terkait Covid-19, serta hoaks terkait kebijakan pemerintah dalam menangani wabah.
"(Serta) penghinaan terhadap penguasa/presiden dan pejabat pemerintah," demikian bunyi penggalan surat telegram tersebut.
![]() |
Selain Rahman, nasib serupa juga dialami musisi I Gede Ari Astina alias Jerinx. Dia ditahan Polda Bali pada Rabu (12/8) setelah menyandang status tersangka kasus pencemaran nama baik dan ujaran kebencian.
Melalui akun Instagram @jrxsid penabuh drum Superman Is Dead itu menyebut Ikatan Dokter Indonesia atau IDI kacung WHO. Kritiknya itu didasarkan karena IDI dan rumah sakit mewajibkan semua perempuan yang akan melahirkan harus menjalani tes cepat atau rapid test.
"Saya tidak punya kebencian. Saya tidak punya niat menghancurkan dan menyakiti perasaan kawan-kawan IDI, dan ini 100 persen sebuah kritikan," ujar Jerinx yang telah meminta maaf kepada IDI sebagai bentuk empati.
Jerinx dijerat dengan UU Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Dukungan untuk membebaskan Jerinx pun mengalir. Salah satunya dari vokalis Navicula, I Gede Robi Supriyanto. Musisi asal Bali ini tidak setuju dengan penahanan Jerinx atas kritiknya, sepedas apapun.
"Bantah opini dengan opini. Bukan jerat hukum! Apalagi hukum yang berdasar pada pasal karet," tulis Robi di akun Instagram @robinavicula.
Menurutnya, berbeda pendapat dan kebebasan berekspresi adalah roh dalam iklim demokrasi. Kini, kritik dibalas dengan ancaman penjara.
Upaya membungkam kritik di tengah pandemi Covid-19 dilakukan dengan beragam cara.
Pada 29 Juli lalu, kantor Walhi Kalimantan Timur dan Pokja 30 didatangi sejumlah orang yang mengaku sebagai petugas Dinas Kesehatan Kota Samarinda. Mereka mengambil sampel dahak para aktivis untuk mendeteksi penularan virus corona.
Besoknya, tiga aktivis dinyatakan positif Covid-19 tanpa ditunjukkan bukti hasil tes yang menjadi hak terperiksa. Ketiganya kemudian dipaksa menjalani karantina di RSUD IA Moeis Samarinda. Namun, mereka menolak.
Direktur Walhi Kaltim Yohana Tiko menyebut sejumlah kejanggalan. Di antaranya, oknum petugas tak mengenakan alat pelindung diri (APD) sesuai protokol saat penjemputan. Selain itu, mereka juga tidak menunjukkan identitas dan surat tugas.
Walhi menduga rangkaian kejadian itu sebagai upaya kriminalisasi aktivis dan pembungkaman gerakan pro demokrasi berkedok pemeriksaan tes swab Covid-19. Selain itu, pihaknya juga mencurigai upaya perampasan data pribadi maupun kelompok.
Tiko curiga kejadian ini tak lepas dari kegiatan advokasi yang dilakukan Walhi bersama sejumlah organisasi masyarakat sipil lainnya.
![]() |
Selama ini mereka berusaha menggagalkan Omnibus Law Cipta Kerja serta UU Pertambangan Mineral dan Batubara. Selain memperkarakan kasus tumpahan minyak Teluk Balikpapan, menolak kebijakan Rancangan Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K), serta penanaman modal asing untuk mega proyek ibu kota baru.
Komisioner Komnas HAM Choirul Anam mengatakan ada indikasi kuat pelanggaran protokol kesehatan dalam kasus ini. Model penjemputan paksa itu, menurut Anam, kuat indikasinya di luar kepentingan kesehatan.
Kepala Bidang Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Kota Samarinda dr. Osa Rafshodia mengatakan tindakan yang dilakukan kepada para aktivis Walhi telah sesuai petunjuk teknis Kementerian Kesehatan.
Para jurnalis juga mengalami serangan setelah menulis berita cek fakta terkait Covid-19. Dua wartawan Tempo, Ika Ningtyas dan Zainal Ishaq, menjadi korban doxing. Ini adalah kejahatan berupa pembongkaran identitas seseorang, lalu menyebarkannya ke media sosial untuk tujuan negatif.
Saat itu timnya memverifikasi klaim dokter hewan Mohammad Indro Cahyono yang menyebut virus corona tak berbahaya dan tidak menimbulkan kematian.
Hasil cek fakta menyimpulkan klaim Indro itu tidak benar 100 persen sehingga dapat menyesatkan publik. Namun Indro justru membalas berita hasil cek fakta itu dengan melakukan doxing kepada penulis.
Foto Ika dan Zainal yang diambil dari Facebook kemudian disebarkan oleh Indro dengan narasi 'jurnalis penyebar ketakutan' maupun 'Lawan Teroris Wabah'. Narasi itu, menurut Ika, untuk mendelegitimasi hasil cek fakta yang diterbitkan Tempo.
Ika mengatakan doxing yang dilakukan Indro cukup masif. Apalagi menurutnya, Indro memiliki banyak penggemar yang turut mendukung aksinya itu.
"Beberapa kali pernyataannya menganggap Covid tidak berbahaya dan mematikan. Di tengah pandemi seperti ini, pernyataan-pernyataan seperti itu dapat mengurangi kewaspadaan masyarakat," ujar Ika.
Saat dikonfirmasi mengenai hal ini, Indro menolak berkomentar. Ia menilai sejumlah pemberitaan di media massa menyudutkannya. "Konfirmasi ke editornya saja, ke redaksinya. Jangan tanya ke saya," ujar Indro.
(dmi/pmg)