Rizal Ramli, Din Syamsuddin, Gatot Nurmantyo, hingga Rachmawati Soekarnoputri masuk daftar jajaran tokoh pendukung Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Tiga nama pertama pernah berada di lingkaran kekuasaan Presiden Joko Widodo, kini mereka berlawanan.
Mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman di Kabinet Kerja, Rizal Ramli menegaskan dukungannya kepada Koalisi tersebut. Dia menilai pemerintahan Jokowi saat ini semakin otoriter di tengah impitan hidup masyarakat.
"Rakyat hidupnya makin susah, makan saja susah, di samping itu juga ada semangat semakin otoriter. Teman-teman ambil inisiatif untuk membikin KAMI," kata Rizal kepada CNNIndonesia.com saat ditemui di rumahnya kawasan Jakarta Selatan, Jumat (7/8).
Pria 65 tahun ini menilai rezim Jokowi mulai berbahaya. Tanda-tanda itu muncul bukan hanya karena penangkapan sejumlah orang yang bersikap kritis terhadap pemerintah, tapi juga penggunaan para pendengung atau buzzer dan influencer di media sosial untuk menyerang lawan politik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi otoriter itu bukan dalam konteks tangkap-menangkap doang, atau mengurangi hak orang berbicara, tapi dengan cara-cara pakai buzzer dan influencer dia membajak demokrasi, menurunkan kualitas demokrasi, karena pada dasarnya mereka sampah demokrasi," ujar Rizal.
Politikus sekaligus pakar ekonomi ini menjelaskan dalam sistem demokrasi yang berjalan baik, terdapat saluran untuk menyampaikan aspirasi maupun perbedaan pendapat, yakni melalui Dewan Perwakilan Rakyat, kemudian memanggil pemerintah untuk membahasnya.
Namun saluran demokrasi itu kini mandek. Fungsi pengawasan lembaga legislatif terhadap eksekutif tak berjalan.
Salah satu penyebab, menurut Rizal, karena aturan pergantian antar-waktu (PAW) anggota legislatif. Seorang anggota Dewan bisa diganti di tengah masa jabatan atas usulan partai politiknya, bahkan tanpa keterangan yang jelas.
Aturan yang dikenal dengan istilah recall ini dibentuk pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri. Rizal menyebutnya sebagai titik mula kemunduran demokrasi.
Ditambah lagi parpol koalisi pendukung pemerintahan Jokowi saat ini menguasai 10 dari 11 komisi di DPR periode 2019-2024. Termasuk posisi ketua DPR yang diduduki Puan Maharani dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
"Kalau saluran demokrasi mandek, karena ini direkayasa semua untuk mendukung kekuasaan, itu sangat berbahaya sekali," kata aktivis mahasiswa 1978 yang pernah dipenjara 1,5 tahun oleh rezim Orde Baru ini.
![]() |
Rizal juga menyoroti penggunaan buzzer dan influencer yang dinilai ikut bertanggung jawab atas perpecahan di tengah masyarakat Indonesia. Pertentangan sosial begitu tajam hingga ke level akar rumput sejak ajang Pemilihan Presiden 2014 silam.
Perdebatan yang dibangun buzzer bukan lagi soal ide atau pikiran, melainkan menghancurkan karakter orang yang menyampaikan kritik. Akibatnya kualitas perdebatan dalam wacana publik semakin rendah. Para tokoh pun enggan menghadapi serangan buzzer.
Dalam kehidupan demokrasi, kata Rizal, ide seharusnya dilawan dengan ide, bukan melancarkan serangan personal.
Dia mengamati pejabat yang bermasalah dan minim prestasi paling banyak membayar buzzer maupun influencer untuk menghancurkan karakter lawan politiknya. Di sisi lain, mereka akan memuji habis-habisan orang yang membayarnya.
Rizal pun mengimbau kepada para pejabat agar menghentikan pola serangan menggunakan buzzer, terlebih membayar mereka dengan menggunakan anggaran negara.
"Zaman Jokowi mulai rusak. Dia kerahkan buzzer dan influencer yang merusak agenda public discussion. Karena enggak mutu argumennya," kata mantan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi era Presiden Abdurrahman Wahid itu.
Salah satu korban serangan buzzer adalah komedian Bintang Emon. Dia sempat mengunggah video berisi kritik penanganan kasus penyiraman air keras kepada penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, Novel Baswedan.
Kritik itu dibalas dengan serangan bertubi-tubi berupa meme tudingan bahwa Bintang menggunakan narkotika jenis sabu. Meme itu diunggah sejumlah akun anonim buzzer di media sosial dengan narasi yang seragam; Bintang pengguna sabu.
Belakangan, sejumlah pesohor juga dikerahkan sebagai influencer untuk mempromosikan RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang selama ini menuai polemik. Salah satunya musisi Ardhito Pramono mengaku dibayar untuk mengampanyekan #IndonesiaButuhKerja dan telah memberi klarifikasi.
Meski demikian, Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden Donny Gahral Adian membantah ada kerja sama antara para artis dengan pemerintah untuk menggencarkan dukungan terhadap RUU Ciptaker.
Namun pemerintah bukan tidak pernah menggunakan anggaran negara untuk membayar jasa influencer. Pada akhir Februari 2020, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pemerintah mengucurkan dana Rp72 miliar dari APBN 2020 untuk influencer demi menggenjot pariwisata yang lesu akibat dampak pandemi Covid-19.
Tudingan otoriter yang dialamatkan pada Jokowi juga keluar dari mulut politikus senior lainnya, Amien Rais. Pendiri Partai Amanat Nasional (PAN) ini menyatakan praktik otoritarianisme di era Jokowi semakin pekat. Amien juga menyatakan Jokowi lebih banyak berulah daripada berprestasi.
"Tipikal otoritaritarianisme ini sepenuhnya dipraktikkan oleh rezim Jokowi. Tangan rezim otoriter sangat ringan untuk memangkas kekuatan masyarakat yang tidak sejalan dengan kemauan rezim," ujar Amien dalam video yang diunggah di YouTube, Sabtu (15/8).
Amien mengatakan Jokowi memiliki pendukung yang suka menjilat. Dia mengatakan banyak orang yang mengalami kematian intelektual dan kehancuran integritas karena hanya demi mendapat jabatan dari Jokowi.
Amien juga berkata sistem pengawasan dan keseimbangan (check and balance) telah hilang di era pemerintahan Jokowi. Dia menyebut lembaga legislatif saat ini hanya dijadikan sebagai tukang stempel kehendak Jokowi.
Para penegak hukum, kata Amien, secara efektif menjadi penghalang dan penghancur hukum. Amien juga meyakini pemerintahan Jokowi pasti ambruk karena menerapkan otoritarianisme.
![]() |
Politik Transaksional
Pada kesempatan berbeda, politikus senior Partai Golkar Akbar Tandjung ikut menyampaikan pandangannya terkait kebebasan berpendapat di era pemerintahan Jokowi. Menurutnya, aspek kebebasan tersebut terwujud dengan banyaknya orang terlibat dalam kegiatan politik.
Namun mantan Ketua DPR RI periode 1999-2004 itu menilai dinamika politik saat ini sangat dipengaruhi proses transaksional untuk mendapatkan kekuasaan. Menurutnya, nilai dan etika moral seharusnya tetap dijadikan dasar pembangunan demokrasi di Indonesia.
"Politik yang bernuansa transaksional itu supaya betul-betul jangan menjadi sesuatu yang biasa," kata Akbar saat ditemui di rumahnya di Jakarta, Kamis (6/8).
Mantan aktivis mahasiswa 1966 ini mengutip adagium Lord Acton, 'Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely' untuk mengingatkan bahwa kekuasaan bukanlah segala-galanya. Menurutnya, wajar jika orang ingin mendapatkan kekuasaan, tapi bukan berarti menggunakan cara yang tak wajar untuk memperolehnya.
"Itu jadi catatan kita ke depan khususnya dalam semangat meningkatkan kualitas demokrasi kita," ujar politikus yang kini berusia 75 tahun.
Soal tudingan rezim otoriter, Politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Achmad Baidowi membantahnya. PPP adalah salah satu parpol koalisi pemerintahan.
Baidowi mengatakan, jika Jokowi otoriter Amien tak mungkin masih bebas mengemukakan pendapat dan mengkritik.
"Kalau Jokowi otoriter kenapa Pak Amien masih bebas bersuara, berteriak, mengkritik? Kalau rezim otoriter harusnya sudah dibungkam, demo dilarang, pengkritik ditangkap. Namun kenyataannya di Indonesia bebas-bebas saja orang bersuara atau berpendapat baik yang ditopang data akurat maupun tidak berbasis data," ujar Baidowi kepada CNNIndonesia.com.
Terkait pernyataan Amien Rais, Baidowi berharap politikus senior itu tak menuduh tanpa bukti.
Dia juga membantah parlemen hanya formalitas dan selalu menurut kemauan pemerintah. Baidowi meminta ada bukti soal ini.
Politikus PDIP Dwi Rio Sambodo, menyebut kritikan Amien tidak berdasar. Dia berharap Amien Rais bisa menginstropeksi diri sebelum melancarkan tuduhan.
(pmg)