Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Indonesia, Nur Hidayati, mengungkapkan ketertutupan pemerintah dalam perumusan RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker).
Demikian disampaikan Nur saat menjadi saksi fakta dalam sidang lanjutan gugatan Surat Presiden (Surpres) Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) ke DPR terkait pengajuan pembahasan RUU Ciptaker di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
"Dalam proses pembuatan RUU Cipta Kerja kami sama sekali tidak mendapatkan informasi apa pun, cuma dari pernyataan pejabat di media. Ini membingungkan masyarakat dan Walhi. Dan sejak awal semangatnya investasi, kami khawatirkan lingkungan hidup," ungkap Nur dalam sidang di PTUN Jakarta, Selasa (25/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menuturkan Walhi sempat berinisiatif untuk memperoleh draf aturan baru tersebut. Namun, kata dia, upaya itu nihil hasil.
"Perbincangan informal ada, kami sempat bertemu dengan Menteri LHK tentang Omnibus Law tapi tidak diberikan draf ataupun isinya. Kami meminta draf dan naskah akademik, Ibu Menteri menyampaikan, ya, nanti diberikan tapi nanti, sampai Surpres keluar tidak pernah ada," ujarnya.
Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka, yang juga menjadi saksi fakta menjelaskan dari kajian pihaknya RUU Omnibus Law Ciptaker berdampak buruk terhadap masyarakat adat.
Hal itu tidak lepas dari adanya perubahan terhadap Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
"Ini menjadi sangat mengganggu kepentingan kami karena berbagai hak masyarakat adat yang sudah ada di dalam UU yang selama ini kami membuatnya itu ada yang dihilangkan, dipotong, diformulasi ulang yang justru berbahaya buat kami [masyarakat adat]," kata dia.
Peran nihil pemerintah dalam merangkul masyarakat terkait perumusan RUU Ciptaker juga dirasakan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI). Wakil Presiden KSPI Iswan Abdullah mengungkapkan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian tidak terbuka dalam membuat sebuah RUU.
"Kita tidak dapat sama sekali drafnya maupun informasi resmi dari pemerintah. Apalagi dilibatkan. Kami mendapatkan informasi itu dari media," katanya di hadapan hakim.
Abdullah mengatakan pemerintah sempat mengadakan pertemuan dengan serikat buruh sebagai tahap sosialisasi pada kurun waktu akhir Desember dan awal Januari 2020. Namun, terang dia, pertemuan itu nihil hasil lantaran pemerintah tidak menunjukkan naskah akademik RUU Ciptaker.
"Desember tidak ada sama sekali singgung menyinggung bicara RUU Cipta Kerja. Lebih ke brainstorming terkait sistem ke depan soal ketenagakerjaan," imbuhnya.
Untuk diketahui, Surpres Joko Widodo ke DPR terkait pengajuan pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja digugat ke PTUN Jakarta pada 30 April 2020.
Tim Advokasi untuk Demokrasi menilai ada pelanggaran prosedur dan substansi dari penyusunan draf RUU Ciptaker yang dilakukan pemerintah.
Sebagai inisiator dari RUU tersebut, pemerintah tidak secara aktif melibatkan masyarakat dalam penyusunan draf RUU tersebut. Hal ini mengabaikan prinsip yang diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Pembahasan Omnibus Law RUU Ciptaker itu sendiri terus mendapatkan perlawanan, termasuk dari massa buruh yang pada Selasa ini menggelar aksi unjuk rasa di sejumlah wilayah Indonesia, juga di depan DPR.