Sebanyak 21,9 persen penduduk di Provinsi Papua mengalami buta aksara per tahun 2019. Papua menjadi provinsi dengan angka buta aksara paling tinggi di Indonesia.
"Papua itu 21,9 persen [buta aksara], Nusa Tenggara Barat 7,46 persen, Nusa Tenggara Timur 4,24 persen, Sulawesi Selatan 4,22 persen, Sulawesi Barat 3,98 persen dan Kalimantan Barat 3,81 persen," ungkap Direktur Jenderal PAUD, Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jumeri melalui konferensi video, Jumat (4/9).
Ia menyebut enam provinsi ini merupakan daerah dengan angka buta aksara tertinggi. Secara nasional, angka buta aksara Indonesia pada 2019 mencapai 1,78 persen. Angka ini turun dari tahun 2018 sebesar 1,93 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jumeri menduga tingginya angka buta aksara berkaitan dengan angka partisipasi kasar (APK) atau persentase penduduk yang bersekolah dan pendapatan per kapita di suatu daerah. Keenam provinsi tersebut memiliki APK yang tinggi dan pendapat per kapita yang rendah.
Ia meyakinkan upaya pemberantasan buta aksara bisa mendorong kesejahteraan masyarakat dan menurunkan angka kemiskinan. Hal ini dilakukan pihaknya dengan memfokuskan pelatihan aksara di enam daerah tertinggi.
Kemendikbud juga bakal menggandeng lebih banyak kalangan perempuan dan disabilitas dalam pelatihan aksara. Pasalnya, angka buta aksara pada perempuan dan kaum disabilitas masih tinggi.
Pada usia di atas 15 tahun, angka buta aksara pada laki-laki mencapai 2,52 persen. Sedangkan pada perempuan angkanya berlipat hingga 5,67 persen. Sebanyak 2,29 persen dari jumlah tersebut berada di perkotaan, dan 6,44 persen di pedesaan.
Kemudian pada kaum disabilitas, angka buta aksara mencapai 21,37 persen pada usia 15 tahun keatas. Sedangkan non disabilitas mencapai 3,52 persen.
Direktur Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus Samto mengakui penurunan angka buta huruf secara nasional tak banyak berubah selama lima tahun terakhir.
Pada tahun 2015 angka buta huruf mencapai 2,29 persen. Angka ini turun pada tahun 2016 menjadi 2,07 persen, namun stagnan di tahun 2017. Samto berdalih penurunan angka buta huruf lambat karena persentasenya sudah rendah.
"Penurunan buta aksara lima tahun terakhir lambat karena tinggal sedikit, jadi tinggal yang sulit. Karena memang tinggal di bawah dua persen, tinggal daerah yang mengalami kesulitan ketika melakukan intervensi," katanya.
Ia mengatakan kebanyakan daerah yang angka buta hurufnya tinggi berada di daerah tertinggal, terdepan dan terluar (3T). Sehingga pihaknya kerap terkendala akses atau sumber daya manusia ketika melakukan pelatihan keaksaraan.
(fey/wis)