Direktorat Tindak Pidana Narkoba Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri mengungkap kasus peredaran obat ilegal di sebuah klinik kecantikan berinisial MA di wilayah Tangerang, Banten.
Menurut Direktur Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri Brigadir Jenderal Krisno Siregar, klinik tersebut menjual obat ilegal yang tidak memiliki izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Kasus ini pun mencuat lantaran banyak korban yang melaporkan praktik penggunaan obat tersebut.
"Obat ilegal seperti ini akhirnya dikategorikan berbahaya, apalagi dia memadukan ke kemasan lain, mencampurkan obat lain. Undang-undang kesehatan mengatakan harus didaftakan di BPOM. Kalau dia untuk menggunakan sendiri tidak melanggar, tapi kan ini diedarkan," kata Krisno saat dikonfirmasi, Rabu (9/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia menuturkan bahwa kasus ini sudah masuk dalam tahap penyidikan oleh kepolisian. Direktur dari klinik kecantikan berinisial IA pun telah ditetapkan sebagai tersangka.
Dalam perkara ini, aksi kejahatan itu dilakukan oleh pelaku dengan modus mengimpor obat jadi dari Amerika Serikat. Kemudian, klinik tersebut membuka praktik di Indonesia dengan menggunakan obat yang telah dicampur dengan bahan kimia lain sesuai racikannya.
"Obat impor memiliki izin di negaranya. Beberapa obat racikannya juga punya izin, namun ketika ia mencampurkan ini menjadi obat baru dan belum memiliki izin kelayakan dari BPPOM," kata Krisno.
Sejauh ini, penyidik telah membawa sampel obat racikan dokter IA untuk diperiksa di laboratorium milik Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).Polisi akan segera meminta keterangan ahli dari BPOM.
Atas perbuatan tersebut, IA dapat dikenakan Pasal 196 dan 197 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Pasal 196 berbunyi, 'Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)'.
Sementara Pasal 197 menyatakan, 'Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah)'.
(mjo/bmw)