Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) menilai bantahan pihak kampus tersebut terkait pakta integritas bertentang dengan pernyataan sebelumnya yang disampaikan kepada mahasiswa.
Sebelumnya, pihak Rektorat UI menyatakan pakta integritas yang beredar di lingkungan mahasiswa baru bukanlah dokumen resmi kampus.
"Sangat disayangkan bahwa pernyataan UI yang menampik keberadaan dokumen tersebut bertentangan dengan pernyataan sebelum-sebelumnya. Hal ini menunjukan tidak sinkronnya kebijakan yang diterbitkan kampus," ujar Ketua BEM UI Fajar Adi Nugroho kepada CNNIndonesia.com, Selasa (15/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari informasi yang ia dapat, mahasiswa baru mendapat instruksi pengisian pakta integritas dalam grup Whatsapp yang disampaikan pihak UI melalui perantara mahasiswa. Dalam pesan instruksi itu juga disampaikan dokumen pakta integritas.
Pada tangkapan layar yang disampaikan kepada CNNIndonesia.com, mahasiswa baru di grup tersebut diwajibkan mengisi dan menandatangani pakta integritas dengan materai Rp6.000.
"Apabila kampus menampik dokumen tersebut, lalu bagaimana status pakta integritas yang sudah ditandatangani dan dikirim ke mahasiswa ke kampus?" kata Adi Nugroho.
Melalui akun Youtube BadanOtonomEconomica, mahasiswa baru bersaksi bahwa pihaknya menerima pakta integritas dan diminta menandatangani dokumen tersebut oleh perwakilan mahasiswa yang menjadi mentor ospek mereka.
"Tanggal 5 September pukul 12.41 itu pertama kali mentor menyebut ada pengisian pakta integritas secara wajib, disebutkan di chat room kami bahwa ini wajib," cerita Aditya Manggala, Mahasiswa Fakultas Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) UI.
Disebutkan dalam grup tersebut pakta integritas paling lambat dikumpulkan dengan tanda tangan pada 6 September pukul 23.59 WIB dengan cara dikirim melalui email mentor masing-masing mahasiswa.
Aditya menilai hal tersebut janggal, karena ia dan kawan-kawan hanya diberikan waktu satu setengah hari untuk menandatangani dokumen yang dinilai sensitif dan di atas materai. Namun, ia mengaku awalnya, tak mempertanyakan hal tersebut.
"Karena euforia, kami ingin sekali masuk UI dulu. Kami ada sense of belonging, sense of trust ke rektorat dan UI kalau ini ok. Kita tidak tahu sebelumnya ini tidak ada di angkatan sebelumnya," kata dia.
Mahasiswa baru lainnya di UI, Desvita Tria, menyatakan menolak mengenai munculnya pakta integritas yang wajib diisi kepada mereka. Mahasiswa jurusan ilmu komunikasi itu menilai banyak poin dalam pakta integritas tersebut yang perlu dipertanyakan.
Ia juga mempertanyakan klarifikasi UI yang membantah adanya pakta integritas. Menurutnya hal ini berbeda dengan apa yang sebelumnya sudah disampaikan Direktur Kemahasiswaan UI.
"Kedua klarifikasi dari dua pihak berbeda. Satu dari Direktur Kemahasiswaan dan Humas UI tidak jelas. Yang satu bilang ini sadar memang ada, diperuntukan untuk syarat PKKMB (Pengenalan Kehidupan Kampus untuk Mahasiswa Baru). Tapi dari sisi lain ada yang menyatakan pakta integritas belum real, masih dalam bentuk draf," ujar Devianti.
CNNIndonesia.com telah berupaya menghubungi Direktur Kemahasiswaan UI Devie Rahmawati terkait hal ini, namun sejauh ini belum mendapatkan respons.
Sebelumnya UI menyatakan dokumen pakta integritas yang diterima mahasiswa bukan dokumen resmi kampus. Kepala Biro Humas dan KIP UI Amelita Lusia menjelaskan setiap dokumen UI harus dikeluarkan melalui mekanisme dan sistem informasi yang resmi.
"Dokumen berjudul 'Pakta Integritas' yang telah beredar di kalangan mahasiswa baru UI bukan merupakan dokumen resmi yang telah menjadi keputusan Pimpinan UI. Hal ini ditunjukkan antara lain dengan beredarnya beberapa versi dari dokumen dengan judul yang sama di kalangan masyarakat dan ketidaksesuaian format dokumen tersebut dengan format standar dokumen resmi UI," katanya melalui keterangan rilis, Senin (14/9).
Sebelumnya, BEM UI menentang dokumen pakta integritas yang wajib diisi para mahasiswa baru di kampus tersebut. Kewajiban mengisi pakta integritas baru diterima mahasiswa UI tahun ini.
Dalam pakta integritas tersebut, BEM UI menilai banyak poin yang perlu dipertanyakan. Seperti larangan terlibat dalam politik praktis, mengikuti kegiatan yang tidak diizinkan kampus, hingga menerima dan menjalani sanksi jika melakukan tindakan yang mencoreng nama baik kampus.