Polemik pakta integritas bagi mahasiswa baru di Universitas Indonesia (UI), memantik kembali ingatan atas sanksi pemberhentian atau drop out (DO) yang dialami sejumlah mahasiswa Universitas Nasional (Unas) Jakarta karena aksi demonstrasi.
Salah satu mahasiswa yang di-DO itu, Wahyu Krisna Aji, masih berupaya mengadukan nasibnya ke berbagai lembaga, mulai dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDIKTI) Wilayah III, Ombudsman RI dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Ia merupakan mahasiswa Universitas Nasional (Unas), Jakarta yang mendapat sanksi drop out setelah menyuarakan tuntutan pemotongan uang kuliah tunggal (UKT) pada rentetan demonstrasi di lingkungan kampus.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejak surat keputusan DO diterimanya pada Juli lalu, sosok yang akrab disapa Krisna tersebut belum juga menemukan titik terang. Ia berharap lembaga-lembaga yang didatangi bisa mendorong pihak kampus mencabut surat keputusan DO terhadapnya dan dua rekan mahasiwa lain.
"Ombudsman Jakarta sedang menawarkan Unas untuk menyelenggarakan mediasi yang dimediatori oleh Ombudsman. Harapannya dengan mediasi dapat memangkas waktu dalam penyelesaian kasus," ceritanya kepada CNNIndonesia.com, Rabu (16/9).
Sanksi DO harus dijalani Krisna karena ia menjadi salah satu mahasiswa yang vokal menuntut kampus memberikan keringanan dan pemotongan UKT. Pasalnya, banyak mahasiswa yang terkendala ekonomi selama pandemi Covid-19.
Pada 10-12 Juni lalu, ia rajin turun dalam rentetan demonstrasi bersama mahasiswa lain. Kritik terhadap kampus juga disuarakan mahasiswa di media sosial. Cuitan dengan #UnasGawatDarurat sempat menjadi 10 besar topik terbanyak (trending topic) di jejaring Twitter kala itu.
Tak terbayang di benaknya, upaya menyuarakan tuntutan tersebut berujung sanksi DO. Tak terbayangkan juga kewajiban menandatangani surat pernyataan yang dilakukan di awal perkuliahan ikut andil dalam pemberhentian dirinya sebagai mahasiswa.
Krisna mengatakan di awal kuliah kala itu orang tuanya diminta menandatangani sebuah surat pernyataan. Ia tak segan menuruti instruksi tersebut karena mengira tahapan itu bagian dari formalitas dan kewajiban yang harus dipenuhi semua mahasiswa.
Saat itu yang ia pahami surat pernyataan itu mengatur tata tertib di kampus, skala pelanggaran dan hukuman bagi pelanggarnya. Empat tahun kemudian, surat itu dijadikan salah satu alasan dirinya diberhentikan sebagai mahasiswa.
"Setelah saya masuk, saya baru menyadari bahwa SK. 112 tahun 2014 tersebut adalah upaya pembatasan ruang demokrasi dan kebebasan berpendapat di ranah pendidikan tinggi. Pandangan serta tindakan kritis mahasiswa Unas dibenturkan dengan SK. No 112," katanya.
Krisna jadi menduga surat tersebut sebenarnya siasat kampus untuk menghambat sikap kritis dan ruang demokrasi mahasiswa di lingkungan kampus. Itulah, anggapnya, yang dialami dirinya kini.
![]() |
Saat dikonfirmasi, Ketua Pusat Bantuan Hukum Unas, Ali Asgar, membenarkan adanya surat pernyataan yang wajib ditandatangani orang tua mahasiswa pada awal perkuliahan. Surat itu mewajibkan mahasiswa mengikuti aturan yang berlaku di kampus.
"Surat pernyataan kan semua mahasiswa pasti pegang. Mematuhi segala aturan yang berlaku di perguruan tinggi. Itu diatur, kalau nggak diatur ini kan bukan pasar. Kita tata, tata bicaranya, tingkah laku, diskusinya," katanya kepada CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon.
Ia juga membenarkan salah satu alasan sanksi DO kepada Krisna dan mahasiswa lain karena dianggap melanggar isi dari surat pernyataan tersebut. Namun di luar itu, pihaknya juga menilai oknum mahasiswa melakukan tindak pidana dalam aksi protes.
Ali menyebut mahasiswa bertindak rusuh ketika melakukan aksi. Beberapa di antaranya mahasiswa merusak mobil dosen, membakar ban, mengunci gerbang kampus, membakar jaket almamater, serta memukul karyawan dan pihak keamanan kampus dalam aksinya.
"Itu ada rekaman CCTV-nya. Yang kedua juga melanggar UU ITE, dimana oknum mahasiswa melakukan fitnah. Fitnah tentang Unas tidak bisa bayar pegawai, pecat pegawai, bangkrut, Unas gawat darurat," tutur Ali.
Ali pun menyatakan pada dasarnya Unas tidak melarang demonstrasi dan penyuaraan pendapat. Namun, ia menekankan kembali aksi mahasiswa yang telah dilakukan tersebut di luar ketentuan sehingga dijatuhkanlah sanksi.
Sebelum menjatuhkan sanksi, kata Ali, Pihaknya juga sempat memanggil mahasiswa yang terlibat demo dan memperingati mereka. Namun Ali mengatakan mahasiswa tersebut justru melawan dan menantang ingin berdemonstrasi kembali.
Sebagai informasi,kasus ini ramai diperbincangkan tiga bulan sebelum kabar mengenai keberadaan Pakta Integritas bagi mahasiswa baru Universitas Indonesia ramai dikritik. Menurut kesaksian mahasiswa baru UI, mereka diwajibkan menandatangani pakta integritas di atas materai.
Pakta integritas ini mengatur agar mahasiswa menuruti aturan kampus, tidak melakukan kegiatan politik praktis atau organisasi kemahasiswaan yang tidak diizinkan kampus. Jika dilanggar, tindakan ini memungkinkan mahasiswa menghadapi ancaman sanksi hingga drop out.
Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI dengan tegas menolak keberadaan pakta integritas tersebut. Mereka khawatir itu menjadi jalan dalam mengekang hak mahasiswa. Ketentuan ini sendiri diakui BEM UI baru didapati mahasiswa baru di kampus tersebut, yakni yang masuk pada 2020 ini.
Belakangan pihak kampus UI disebut telah melakukan revisi atas Pakta Integritas tersebut, yakni dengan memotong beberapa poin serta tak lagi tanda tangan di atas materai. Tapi, BEM UI dalam pernyataan resminya yang diterima CNNIndonesia.com tetap menolak pakta tersebut.
"Pakta integritas versi final ini hanya berganti judul menjadi surat pernyataan tanpa kewajiban untuk bertandatangan di atas materai. Namun secara substansi, surat pernyataan tersebut relatif tidak berbeda dengan pakta integritas sebelumnya," demikian pernyataan BEM UI.
BEM UI pun mempertanyakan ketidaksinkronan informasi di internal kampus ini pada mulanya, terutama saat menjawab pertanyaan dari media-media massa.
"Sangat disayangkan bahwa pernyataan UI yang menampik keberadaan dokumen tersebut bertentangan dengan pernyataan sebelum-sebelumnya. Hal ini menunjukan tidak sinkronnya kebijakan yang diterbitkan kampus," ujar Ketua BEM UI Fajar Adi Nugroho kepada CNNIndonesia.com, Selasa (15/9).
Sejak kemarin, CNNIndonesia.com telah berupaya mengkonfirmasi Kepala Biro Humas dan KIP UI Amelita Lusia dan Direktur Kemahasiswaan UI Devi Rahmawati terkait revisi dokumen pakta integritas, namun belum mendapat jawaban hingga kini.
![]() |
Sementara itu, anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi Gerindra Ali Zamroni menilai materi pakta integritas bagi mahasiswa baru UI seolah menarik mundur demokrasi di Indonesia.
"Saya menganggap ini sebuah kemunduran kalau tetap dipaksakan. Kita seperti balik lagi ke jaman dulu. Mahasiswa itu kan simbol anak-anak generasi kita yang kritis terhadap situasi dan kondisi, baik itu sosial, politik, ekonomi. Kalau mereka dikekang, tidak ada kontrol dong," ungkapnya kepada CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon, Rabu (16/9).
Menurutnya, kontrol terhadap pemerintahan merupakan unsur yang penting dijaga dalam negara yang berdemokrasi. Dalam hal ini, mahasiswa menjadi salah satu pelaku kritis yang menjalankan fungsi check and balances.
Sesungguhnya, ujar Ali, pakta integritas banyak dilakukan universitas di luar negeri. Perjanjian semacam ini menurutnya tak perlu ditolak sepenuhnya jika poin yang diatur masih sesuai dalam ruang akademi.
Namun, berbeda kasusnya andai pakta integritas terindikasi mengekang hak berpendapat. Atas pertimbangan tersebut, jika pihak kampus tetap melanjutkan pakta integritas dengan unsur demikian, Ali menilai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim harus turun tangan. Ia mengatakan pengekangan hak berpendapat tidak sejalan dengan Merdeka Belajar yang menjadi tema besar pendidikan dari Nadiem. Ia menekankan konsep Merdeka Belajar harus diterapkan secara menyeluruh, termasuk dalam kemerdekaan berpendapat.
(fey/kid)