Di tengah meningkatnya kasus Covid-19 di Indonesia, masih terdapat sejumlah masyarakat yang abai dengan protokol kesehatan seperti menggunakan masker dan menjaga jarak aman.
Sosiolog Imam Budidarmawan Prasodjo melihat realitas itu terjadi karena ada masalah sosialisasi yang belum merata.
"Agar efektif, sosialisasi seharusnya tidak dilakukan secara makro dari atas ke bawah. Namun seharusnya merangkul di tingkat komunitas seperti pasar, jemaah masjid atau gereja, juga lembaga bisnis atau perkantoran," kata Budidarmawan dalam diskusi virtual Community Development Center ILUNI UI pada Sabtu (19/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya perlu dibuat protokol lebih ketat dan ada yang mewaspadai kegiatan masyarakat.
"Kalau itu dibangun secara masif, maka akan ada harapan perubahan perilaku yang lebih baik," ucap Budidarmawan.
Epidemiolog Universitas Indonesia Pandu Riono sepakat bahwa untuk mengubah perilaku masyarakat harus dicapai melalui jalur komunikasi, edukasi dari lapisan bawah.
"Masyarakat harus diedukasi, mungkin saja dia tidak tahu, bukan tidak disiplin. Libatkan masyarakat untuk mengedukasi masyarakat, lewat RT RW, perkantoran misalnya. Semua komunitas harus diidentifikasi siapa yang berpengaruh, bukan hanya lewat influencer di media sosial," katanya.
Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia, Aman Bhakti Pulungan mengatakan bahwa kunci utama laju pandemi bisa kendalikan yakni lewat 3M, memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan.
Namun, itu saja tidak cukup. Baginya, pemerintah juga harus tertib melakukan 3T (testing, tracing, dan treatment).
"Testing 1 per 1000 seminggu, Tracing 30 kontak per satu kasus, dan treatment, menata kapasitas rawat dan isolasi masing-masing wilayah. Tanpa ditawar," katanya.
Dia juga mengatakan bahwa semua kegiatan yang dilakukan di luar rumah harus menggunakan masker, di mana itu diberi contoh lewat tokoh-tokoh publik. Mulai dari kegiatan rapat pemerintahan hingga acara televisi.
"Harusnya diberi contoh semua orang, jangan hanya dengan razia, tapi ada pejabat tinggi ketika diwawancara buka masker. Harus pakai masker kecuali dalam rumah. Mulai dari semuanya. Kalau sudah kelihatan baru perilaku itu akan diikuti," tambahnya.
Di sisi lain, perilaku masyarakat yang sulit beradaptasi dan masih abai, dinilai terjadi tidak lepas dari sikap awal pemerintah dalam menghadapi pandemi Covid-19.
Imam memberi contoh dengan membandingkan situasi yang terjadi di Jerman, bagaimana pemimpinnya sejak awal bersikap untuk mengedepankan mentalitas persiapkan yang terburuk.
"Sementara di Indonesia masih terbalik, seolah-olah tidak boleh bicara kemungkinan terburuk, dibilang menakut-nakuti. Dan para ahli, karena hal politis, seakan tidak digubris, tidak ditanya. Padahal sikap abai pada scientis justru menjadi 'disaster,'" ujarnya.
Dia pun menyarankan bahwa pemerintah harus tegas agar pejabat tidak asal bicara tanpa koordinasi dengan tim yang ahli di bidangnya, yang kemudian menimbulkan kebingungan di masyarakat. Hal itu terjadi ketika kementerian pertanian mengeluarkan kalung yang disebut sebagai antivirus.
Pernyataan Imam ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Ninuk Mardiana Pambudy, Redaktur Senior Harian Kompas. Menurut Ninuk, pendekatan pemerintah masih tidak terpusat dan tidak jelas arahnya yang menanggalkan kesehatan masyarakat.
"Padahal situasi ini perlu kepemimpinan di tiap lapisan, kebijakan jelas dari pusat hingga daerah, tapi yang timbul malah kesan pemerintah tidak kompak," paparnya.
Ninuk juga memberi catatan bahwa aturan yang dibuat dalam menangani Covid-19 setidaknya diterima dengan akal sehat dan menggunakan bahasa yang mudah dipahami masyarakat.
"Mulai dari bahasa daerah, dialek lokal, diksi, hingga ungkapan khas," tutup Ninuk.
(agn/mik)