Sekjen Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto meminta agar elite politik tidak menganalogikan pemilihan umum (pemilu) atau pemilihan kepala daerah (pilkada) sebagai sebuah perang. Pasalnya, kalau digunakan, istilah itu justru akan memecah belah masyarakat.
"Problemnya seringkali di elite, ada yang mengatakan pilkada sebagai Perang Badar. Justru itu di elite yang seringkali terjebak menggunakan upaya segala cara," kata Hasto dalam sebuah diskusi virtual, Senin (21/9).
Istilah 'Perang Badar' pertama kali dilontarkan oleh Wakil Ketua Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Neno Warisman pada Pilpres 2019 lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat itu, Neno membacakan doa dalam acara Munajat 212. Doa yang dilantunkan Neno saat itu menyamakan pemilihan presiden dengan Perang Badar.
Sebagai informasi, Perang Badar terjadi saat Nabi Muhammad memimpin pasukan Muslim yang berjumlah 319 orang bersenjata seadanya berhadapan dengan ribuan musuh bersenjata lengkap.
Terkait hal tersebut, Hasto menilai seharusnya istilah tersebut tidak digunakan kembali di Pilkada 2020. Menurut dia, istilah perang dalam kontestasi Pilkada berpotensi memecah belah masyarakat.
"Potensi konflik yang pertama analisa yang salah tentang pemilu dianggap sebagai perang. Ini harus dihindari. Jangan masukan wacana rakyat dengan perang," ungkapnya.
Hasto menjelaskan, sejak pemilu 1999, masyarakat sebetulnya sudah menunjukkan kedewasaan dalam berdemokrasi. Analisa berbagai pihak yang mengatakan Pemilu atau Pilkada akan memecah belah masyarakat akhirnya tak terbukti.
"Kalau kita lihat pemilu-pemilu yang lalu, 1999, 2004, 2009, 2014 (disebut) akan berdarah-darah. Pada 2019 terjadi suatu pembelahan secara diameteral, tapi ternyata rakyat mampu menunjukkan kedewasaan politik. Rakyat memiliki kultur yang sangat baik untuk berdemokrasi dengan dewasa," ujarnya.
(dmi/agt)