KontraS Desak Bentuk Tim Independen Penembakan Pendeta Papua

CNN Indonesia
Rabu, 23 Sep 2020 22:02 WIB
KontraS menyebut penembakan itu merupakan pelanggaran Pasal 338 KUHP mengenai pembunuhan dengan ancaman pidana maksimal hingga lima belas tahun penjara.
Ilustrasi penembakan. (Istockphoto/thawornnurak)
Jakarta, CNN Indonesia --

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mendesak Kapolda Papua membentuk tim independen guna menyelidiki dugaan penembakan yang menewaskan Pendeta Yeremia Zanambani, seorang tokoh Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) di Kabupaten Intan Jaya, Papua.

Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti mengecam penembakan Pendeta Yeremia tersebut. Selain itu, ada dua informasi berbeda di mana TNI menyatakan pendeta tersebut ditembak Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), sementara gereja menyatakan Yeremia ditembak seorang oknum anggota TNI tersebut.

"Kapolda Papua membentuk tim independen dengan Komnas HAM sebagai ketua tim yang melibatkan Dewan Adat Papua, tokoh gereja, dan Ombudsman Republik Indonesia dalam melakukan penyidikan terkait tragedi ini secara akuntabel dan transparan," ujar Fatia dalam keterangannya, Rabu (23/9).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Fatia menyebut insiden penembakan itu merupakan kejahatan dan melanggar Pasal 338 KUHP mengenai pembunuhan yang bisa dijerat dengan ancaman pidana maksimal hingga lima belas tahun penjara.

Fatia juga mendesak proses peradilan terhadap pelaku, meskipun seorang anggota TNI, dilakukan lewat peradilan pidana dan diadili melalui peradilan umum.

Berdasarkan informasi yang dihimpun, Fatia menyebut, KontraS mendapati penembakan yang menewaskan pendeta Yeremia terjadi pada Sabtu (19/8) lalu sekitar pukul 17.30 di Distrik Hitadipa.

Insiden itu bermula dari dugaan bahwa pendeta atau warga Distrik Hitadipa menjadi pelaku atas tewasnya salah seorang anggota TNI di wilayah itu.

Selain penembakan, TNI yang mencari tahu pelaku pembunuhan terhadap sesama rekannya, juga disebut mengusir warga dari kediaman mereka berdasarkan pengakuan beberapa pendeta lain yang bertugas bertugas di Hitadipa.

"Ancaman pengusiran secara paksa ini dilakukan oleh anggota TNI sejak 18 September hingga19 September 2020," ujar Fatia.

Oleh karenanya, Fatia juga menyebut aksi pengusiran terhadap warga di Distrik Hitadipa yang dilakukan prajurit TNI itu telah menyalahi prosedur. Sebab, yang berwenang melakukan penyelidikan atau penyidikan atas suatu peristiwa kejahatan adalah institusi kepolisian. Tindakan itu menurut Fatia justru berpotensi membuat akan TNI akan main hakim sendiri.

Tindakan itu, kata dia, diduga telah melanggar Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Konvenan Hak Sipil dan Politik maupun Konvenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.

KontraS, lanjut Fatia, juga mendorong presiden untuk menghentikan pendekatan keamanan dalam menyelesaikan konflik di Papua yang hingga kini menyebabkan rantai pelanggaran HAM terus terjadi di Bumi Cenderawasih. KontraS juga meminta Panglima TNI melakukan evaluasi terhadap keberadaan dan fungsi pos-pos penjagaan TNI di wilayah Papua agar kerja sewenang-wenang dan di luar tanggung jawab tidak terjadi.

"Bahwa tragedi ini menambah daftar panjang peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Papua, dan membuktikan bahwa pendekatan keamanan dengan dalih perlindungan sangat tidak tepat untuk menyelesaikan masalah di Papua," kata Fatia.

(thr/ain)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER