ICW Kritik Dewas: Firli Harusnya Mundur dari Pimpinan KPK

CNN Indonesia
Kamis, 24 Sep 2020 17:08 WIB
ICW mengkritik putusan Dewas KPK yang menjatuhkan sanksi ringan pada Ketua KPK Firli Bahuri. Firli semestinya mengundurkan diri.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana. (Foto: CNN Indonesia/ Priska Sari Pratiwi)
Jakarta, CNN Indonesia --

Indonesia Corruption Watch (ICW) mengkritik putusan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menjatuhkan sanksi ringan berupa teguran tertulis II kepada Ketua KPK Firli Bahuri.

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menilai, Firli semestinya dijatuhi sanksi berat agar mengundurkan diri sebagai pimpinan KPK atas tindakannya menggunakan helikopter mewah.

"Tindakan Firli Bahuri yang menggunakan moda transportasi mewah semestinya memasuki unsur dapat diberikan sanksi berat berupa rekomendasi agar mengundurkan diri sebagai pimpinan KPK," ucap Kurnia melalui keterangan tertulis yang diterima CNNIndonesia.com, Kamis (24/9).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kurnia mengatakan, pelanggaran kode etik ini sudah cukup membuat Firli mengundurkan diri. Pada Pasal 29 ayat (1) huruf f dan g UU Nomor 19 Tahun 2019 telah menyebutkan bahwa syarat pimpinan KPK adalah tidak pernah melakukan perbuatan tercela, cakap, jujur, memiliki integritas moral tinggi, dan reputasi yang baik.

Kurnia menilai, Firli tak lagi memenuhi syarat tersebut karena telah terbukti melanggar kode etik KPK sebanyak dua kali. Sebelumnya Firli dijatuhi sanksi berat saat masih menjadi Deputi Penindakan KPK.

Kemudian merujuk pada TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, Kurnia menjelaskan, penyelenggara negara harus mengundurkan diri apabila merasa dirinya telah melanggar kaidah dan sistem nilai atau dianggap tidak mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa, dan negara.

Adapun, ICW memberi lima catatan atas putusan dewas tersebut. Pertama, alasan dewas yang menyebut Firli tidak menyadari pelanggaran yang dilakukan dinilai sangat tidak masuk akal.

"Sebagai ketua KPK, Firli semestinya memahami Peraturan Dewas Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK," tuturnya.

Apalagi, lanjut dia, tindakan Firli juga berlawanan dengan nilai integritas yang selama ini kerap dikampanyekan KPK tentang hidup sederhana.

Kedua, lanjut Kurnia, dewas tidak menimbang sama sekali pelanggaran etik Firli saat masih menjabat sebagai Deputi Penindakan pada 2018. Saat itu ICW melaporkan Firli ke Deputi Pengawas Internal dan Pengaduan Masyarakat atas dugaan pertemuan dengan pihak yang sedang berperkara di KPK.

Berdasarkan laporan tersebut, Firli kemudian dijatuhi sanksi pelanggaran berat pada September 2019.

"Sementara dalam putusan terbaru, dewas menyebut Firli tidak pernah dihukum akibat pelanggaran kode etik," katanya.

Ketiga, Kurnia menuturkan, dewas juga abai melihat tindakan Firli yang mengendarai helikopter mewah sebagai rangkaian atas kontroversi yang selama ini dilakukan. Mulai dari tidak melindungi pegawai saat diduga disekap ketika akan menangkap pelaku hingga pengembalian paksa Kompol Rossa Purbo Bekti ke Polri.

"Pemeriksaan oleh dewas tidak menggunakan spektrum yang lebih luas dan komprehensif," ucapnya.

Ketua KPK Firli Bahuri bersiap menjalani sidang etik dengan agenda pembacaan putusan di Gedung ACLC KPK, Jakarta, Kamis (24/9/2020). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/nzKetua KPK Firli Bahuri bersiap menjalani sidang etik dengan agenda pembacaan putusan di Gedung ACLC KPK, Jakarta, Kamis (24/9). (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/nz)

Keempat, putusan dewas terhadap Firli akan semakin membuat kondisi KPK semakin terpuruk. Sebab, sanksi ringan itu akan menjadi preseden buruk bagi pegawai atau pimpinan KPK lainnya yang melakukan pelanggaran sejenis.

Kurnia mengatakan, tidak ada konsekuensi apapun atas penjatuhan sanksi ringan dari dewas. Sesuai Peraturan Dewas, sanksi ringan hanya akan berdampak pada tidak dapat mengikuti promosi, mutasi, rotasi, tugas belajar atau pelatihan, baik yang digelar di dalam maupun luar negeri.

Sementera pada poin terakhir, Kurnia mengkritik peran dewas yang lemah dalam mengawasi etika pimpinan dan pegawai KPK.

Kurnia menuturkan, dewas semestinya dapat mendalami potensi tindak pidana suap atau gratifikasi terkait penggunaan helikopter mewah tersebut.

Namun dalam putusannya, dewas tidak menyebutkan dengan jelas apakah Firli membayar jasa helikopter itu dari uang sendiri atau sebagai bagian dari gratifikasi.

"Dewas berhenti pada pembuktian, bahwa menaiki helikopter merupakan bagian dari pelanggaran etika hidup sederhana," ujarnya.

Dewas KPK sebelumnya menyatakan Firli terbukti melanggar kode etik dan pedoman perilaku terkait penggunaan helikopter untuk kepentingan pribadi.

Firli dijatuhi sanksi ringan berupa teguran tertulis II yang berlaku selama enam bulan.

Atas putusan tersebut, Firli pun meminta maaf kepada masyarakat Indonesia dan mengaku tidak akan mengulang perbuatan serupa.

Keberadaan Firli yang naik helikopter itu sebelumnya diungkap Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI). Firli disebut naik helikopter dari Palembang ke Baturaja untuk kepentingan pribadi keluarganya.

(psp/psp)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER