Mahkamah Agung (MA) memangkas hukuman mantan Ketua Umum DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum menjadi delapan tahun penjara.
Hukuman ini serupa dengan vonis yang dijatuhkan di tingkat pertama oleh hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
Anas dinilai terbukti menerima uang gratifikasi proyek Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional Hambalang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia kemudian mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Hukumannya dikurangi menjadi tujuh tahun penjara.
Namun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kemudian mengajukan kasasi ke MA. Hukuman Anas saat itu diperberat menjadi 14 tahun penjara oleh Artidjo Alkostar yang saat itu masih menjadi hakim MA.
Tak lama setelah Artidjo pensiun, Anas mengajukan Peninjauan Kembali (PK) pada Mei 2018.
Pengurangan masa hukuman Anas ini pun menuai kritik dari KPK.
Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango meminta MA memberi argumen soal alasan 'menyunat' hukuman para koruptor di tingkat PK. Argumen ini diperlukan agar tak ada kecurigaan dari masyarakat dalam pemberantasan korupsi.
Terlebih, putusan yang mengurangi hukuman para terpidana koruptor marak usai MA ditinggal Artidjo.
"Jangan sampai muncul anekdot, hukum bukan soal hukumnya tapi siapa hakimnya," katanya dalam keterangan Selasa (29/9) lalu.
Di sisi lain, Nawawi juga mengkritik lambatnya penerimaan salinan putusan tersebut ke KPK. Mantan hakim itu menilai, penerimaan salinan putusan yang lama menunjukkan buruknya administrasi peradilan.
"Hingga saat ini putusan yang dimaksud belum diperoleh KPK dari MA. Ini cermin masih kurang baik atau buruknya administrasi peradilan," ucap Nawawi.
Dari catatan KPK, ada 22 salinan putusan terpidana koruptor yang belum diterima lembaga anti rasuah. Sementara ada sekitar 38 perkara yang ditangani KPK sedang diajukan PK oleh para terpidana.
Sementara itu juru bicara MA Andi Samsan Nganro menjelaskan alasan hakim mengurangi hukuman Anas lantaran ada kekhilafan hakim.
Kekhilafan hakim itu merujuk pada kesalahan alat-alat bukti yang dijadikan fakta hukum tindak pidana yang dilakukan Anas.
Salah satu pertimbangan hakim, tidak ada keterangan saksi dari pihak PT Adhi Karya maupun Permai Group yang terlibat dalam perkara tersebut bahwa Anas telah melakukan lobi-lobi kepada pemerintah agar perusahaan tersebut mendapatkan proyek.
"Tidak ada bukti segala pengeluaran uang dari perusahaan-perusahaan tersebut atas kendali dari pemohon PK," seperti dikutip dari salinan putusan.
Dalam perkara ini Anas divonis menerima gratifikasi dalam proyek di Hambalang. Uang dari proyek itu disebut digunakan Anas untuk memenangi pemilihan sebagai Ketum Demokrat pada 2010.
Dari keterangan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M. Nazaruddin, pemenang proyek Hambalang saat itu PT Adhi Karya membantu Anas membiayai kongres Demokrat saat maju menjadi ketum.
(psp)