Anggota Komisi III DPR RI Wihadi Wiyanto menilai para terdakwa kasus korupsi di PT Asuransi Jiwasraya (persero) harus dihukum berat. Perampasan aset dan pemiskinan perlu dilakukan sebab tindakan mereka menyangkut uang nasabah.
Sejumlah terdakwa kasus korupsi Jiwasraya dituntut hukuman berkisar 18 tahun penjara hingga hukuman seumur hidup. Tuntutan hukuman penjara seumur hidup diberikan kepada mantan Direktur Keuangan PT Asuransi Jiwasraya Hary Prasetyo.
Sedangkan, mantan Direktur Utama PT Asuransi Jiwasraya Hendrisman Rahim dituntut pidana 20 tahun penjara dan mantan Kepala Divisi Investasi dan Keuangan PT AJS Syahmirwan dituntut dengan 18 tahun bui dan pidana denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Wihadi menilai tuntutan jaksa terhadap para terdakwa dalam kasus korupsi Jiwasraya sebenarnya sudah sesuai.
"Kalau saya melihat tuntutan jaksa yang seumur hidup secara keadilan sudah cukup maksimal. Kejahatan dan bentuk kejahatannya dan segala macam itu sesuai," kata Wihadi saat dihubungi, Kamis (1/10).
Namun, dia meminta agar jaksa segera menjerat para terdakwa dengan pasal tindak pidana pencucian uang. Menurutnya, langkah ini diperlukan agar uang nasabah yang telah rugi bisa dikembalikan.
"Jangan sampai orang dituntut seumur hidup, uangnya enggak kembali. Pasal TPPU, dan aset harus disita dan diberikan ke nasabah," ucap Wihadi.
Sementara, Pakar TPPU Yenti Ganarsih berpendapat Kejaksaan Agung (Kejagung) telah membuka tabir kasus Jiwasraya yang merugikan keuangan negara hingga Rp16,8 triliun secara sistematis.
Kata dia, jaksa telah mampu membuktikan modus-modus serta niat jahat (mens rea) yang dimiliki oleh para terdakwa pada saat melaksanakan aksinya.
Yenti juga menegaskan bahwa, bukti-bukti dan niat jahat yang telah terungkap di dalam persidangan seharusnya bisa dijadikan dasar untuk memberikan ganjaran hukuman yang berat kepada para terdakwa.
"Dakwaan seumur hidup dan 20 tahun penjara itu cukup maksimal, tapi harus dikedepankan perampasan dan pemiskinan, karena ini menyangkut uang nasabah," tegasnya.
Yenti menambahkan, sudah seharusnya pula jajaran penegak hukum bisa memberi efek dengan memberikan putusan menyita seluruh aset dan memiskinkan terdakwa untuk mengganti kerugian negara.
"Yang paling membuat efek jera selain hukuman maksimal adalah, pemiskinan. Melakukan perampasan dari semua hasil kejahatan para terdakwa dan denda. Jika TPPU mereka habis dan tidak cukup, itu bisa di kejar ke denda mereka yang besar."
Dalam persidangan kasus korupsi Jiwasraya mulai terungkap banyak bukti mulai dari pemberian gratifikasi dari terdakwa di pihak pengusaha kepada 3 terdakwa lainnya yang berasal dari manajemen lama Jiwasraya.
Beberapa nama samaran yang digunakan terdakwa saat berkomunikasi, seperti Pak Haji untuk panggilan Heru Hidayat, Chief untuk Hendrisman, Rudy untuk Hary, Panda untuk Joko Hartono, dan Mahmud untuk Syahmirwan. Tak hanya itu, di dalam persidangan juga muncul fakta-fakta berupa penghancuran telepon genggam milik salah satu saksi fakta yang diduga merekam komunikasi dengan salah satu terdakwa guna menghapus data transaksi saham.
Terakhir, pengakuan praktik manipulasi laporan keuangan atau window dressing yang dilakukan direksi lama pada saat menjalankan perusahaan selama 10 tahun juga terungkap.
Dalam nota pembelaannya, Direktur Keuangan periode 2008-2018, Hary Prasetyo mengungkapkan, praktik window dressing tersebut dilakukan atas izin dan sepengetahuan mantan Pejabat Bapepam LK, mantan pejabat Kementerian BUMN dan pejabat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selaku lembaga pengawas pengganti Bapepam LK.