Mantan tahanan politik korban peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S), Bedjo Untung, mendesak Komnas HAM untuk segera merampungkan pemberian Surat Keterangan Korban Pelanggaran HAM (SKKPH) kepada jutaan penyintas dan keluarga yang menjadi korban G30S.
Sebab, selain sebagai pengakuan dari negara, surat tersebut merupakan syarat bagi korban untuk memperoleh kompensasi berupa pelayanan medis atau psikososial dari Lembaga Perlindungan dan Saksi (LPSK).
"Saya menuntut dan mendesak Komnas HAM turun ke lapangan memverifikasi korban dan itu langsung diberi surat rekomendasi yang bersangkutan adalah korban pelanggaran HAM berat, itu tidak sulit," kata Bedjo dalam acara Secret at Newsroom (Setroom) CNNIndonesia.com, Kamis (1/10) malam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketua Yayasan Peneliti Korban Pembunuhan (YPKP) 1965 ini menilai selain menjajaki peluang rekonsiliasi, pemberian SKKPH juga dapat membantu korban.
"Bagi kami dengan pemberian SKKPH adalah suatu penghargaan, pengakuan, namun sayangnya itu belum menyeluruh. Saya dengar baru sampai 3.000-5.000 orang, padahal jumlah korban '65 saya bisa taksir jutaan," imbuhnya.
Bedjo menjadi tahanan politik terkait konflik 1965 saat ia masih berusia 17 tahun. Ia menjadi korban penangkapan dan akhirnya ditahan selama sembilan tahun tanpa proses pengadilan. Ia menyebut banyak warga yang dituduh anggota PKI mendapat perlakuan tidak manusiawi.
Bedjo mengatakan pada masa tersebut aparat pemerintah dengan tegas mendiskreditkan para korban sebagai tahanan politik dan layak dihancurkan. Banyak kerugian materiil dan immateriil yang diterima para korban dan keluarganya.
Oleh sebab itu, sebagai warga negara yang memiliki hak perlindungan hukum, Bedjo meminta negara segera meminta maaf agar polemik panjang 'Hantu PKI' yang didengungkan setiap tahun tidak terjadi lagi.
"Bila ini tidak segera diselesaikan, ini akan jadi bom waktu. Suatu saat meledak terus dan digoreng terus," kata dia.
![]() |
Masih di acara daring yang sama, Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengaku sejauh ini pemerintah telah berupaya melakukan jejak penelusuran guna merampungkan polemik panjang ini. Namun proses pendataan dan verifikasi saat ini masih menjadi pekerjaan rumah (PR) besar bagi lembaganya, dan yang termasuk sukar dilakoni.
"Kita harus mengakui bahwa memang komplikasi hukum yang secara teknis memang tidak mudah, misalnya karena terduga pelaku itu maupun barang bukti, saksi-saksi, banyak yang meninggal, jadi rumit kan kita," kata Taufan.
![]() |
Kendati demikian, Taufan menambahkan, pemerintah sempat mengusulkan rekonsiliasi antara dua pihak yang terlibat dalam peristiwa itu. Namun, rekonsiliasi saat ini tak memiliki dasar hukum sebab UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang mengatur hal itu sudah dibatalkan MK.
"Jadi dulu kan UU KKR sudah ada tapi dibatalkan, maka silahkan bentuk itu. Kalau itu langkah pilihannya Komnas HAM akan apresiasi langkah apapun itu sepanjang dia dalam rangka mencapai keadilan," kata dia.
Taufan pun tak menampik impunitas masih menjadi isu besar negara saat ini.
Meskipun demikian, dia menegaskan pihaknya sejauh ini terus mendukung upaya pemberian SKKPH bagi para penyintas, serta mendukung serangkaian tahapan-tahapan yang diharapkan mewujudkan rekonsiliasi antara negara dan para korban tahanan politik tahun 1965.