Pengamat politik Universitas Sriwijaya, Bagindo Togar menilai kotak kosong memiliki kans menang yang besar melawan paslon tunggal Kuryana Azis-Johan Anuar di Pilkada Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan. Tak lepas dari upaya lawan petahana yang mulai membangun narasi memilih kotak kosong.
Diketahui, Johan Anuar sudah menjadi tersangka kasus korupsi. Dia kembali maju sebagai calon wakil bupati mendampingi Kuryana Azis berbekal dukungan dari 11 partai politik.
"Potensi kotak kosong menang tinggi. Itu bisa sampai 40-50 persen," kata Bagindo pekan lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah satu tokoh yang membangun narasi memilih kotak kosong adalah mantan Bupati OKU yang juga mantan Wagub Sumsel, Eddy Yusuf. Diketahui, Eddy sempat berupaya maju sebagai cabup OKU namun tak dapat tiket dari partai politik.
Menurut Bagindo, peran Eddy akan sangat berpengaruh dalam menggalang dukungan masyarakat agar memilih kotak kosong. Terlebih, tak sedikit pula kelompok masyarakat yang ingin pemimpin baru namun tidak diakomodir oleh partai politik.
Bagindo mengatakan, yang perlu dilakukan masyarakat yang merasa tidak puas dengan calon tunggal tersebut adalah menggalang tenaga dan juga konsolidasi. Jangan hanya berwacana dan kritik yang tidak terukur dan efektif.
Masyarakat perlu membuktikan bahwa mereka tidak puas dengan petahana sekarang dengan bentuk konkret yaitu memilih kolom kosong di kotak suara.
"Jangan pasif, tidak datang ke TPS, atau golput, suara tidak sah. Mereka yang kecewa dengan petahana dengan manuver politiknya atau kinerja pemerintah, harus datang dan mencoblos kolom kosong," kata Bagindo.
"Kalau mereka tidak datang ke TPS, tidak mencoblos itu tidak benar. Golput malah bisa membuat calon tunggal itu bisa menang," sambungnya.
Bagindo juga melihat langkah Kuryana-Johan memborong dukungan dari partai politik dilakukan karena cemas dengan kelompok yang kontra terhadap dirinya.
Lantaran begitu banyak dan takut tidak bisa memenangkan pilkada, akhirnya dukungan parpol diborong oleh mereka. Parpol jadi tidak mengusung calon lain yang berpotensi mendapat dukungan luas dari masyarakat.
"Itu panic action untuk meraup seluruh dukungan politik. Banyak tokoh masyarakat yang tidak setuju dengan sikap petahana ini. Bahkan petahana sendiri dalam tanda kutip sebelumnya ada friksi diantara Kuryana dengan Johan," kata Bagindo.
"Walaupun akhirnya rujuk kembali dengan beberapa catatan yang diantara mereka saja yang tahu," tambahnya.
Seperti halnya di OKU, Pilkada di OKU Selatan juga hanya ada satu pasangan calon, yakni Popo Ali Martopo-Sholihien. Mereka akan melawan kotak kosong.
Akan tetapi, Bagindo melihat kans kotak kosong menang terbilang lebih kecil ketimbang di OKU. Kemungkinan besar hanya mendapat 30 persen suara.
Paling besar, ujar Bagindo, kolom kosong terpilih hanya 30 persen. Hal tersebut disebabkan oleh masyarakat yang cenderung homogen dan hubungan kekerabatan yang cukup kuat.
"Parpol bulat, kelompok masyarakat bulat. Bahkan yang lebih ekstrem lagi, nggak ada upaya-upaya kecil sekalipun, misal dari jalur perseorangan tidak terjadi," kata Bagindo.
OKU Selatan merupakan daerah otonomi baru (DOB) yang baru memekarkan diri dari OKU. Bupati sebelumnya, kata Bagindo, masih memiliki hubungan kerabat dengan Popo Ali yang kini maju sebagai calon petahana.
Hal tersebut membentuk persepsi masyarakat bahwa kepala daerah sudah representasi dari keluarga dari Popo Ali. Meskipun ada beberapa sosok alternatif, namun tidak sepadan dalam segi kualitas untuk bersaing.
"Jadi kesannya ini trah atau dinasti politik berlanjut, meskipun bukan dari ayah ke anak. Ini bahaya untuk OKU Selatan dalam jangka panjang kalau tidak membangun ruang kaderisasi kepemimpinan. Akan ada regenerasi yang tidak normal, warga OKU Selatan jadi tidak biasa berbeda pilihan dan tidak biasa berkompetisi," jelas dia.
Dewan Kajian Opini Publik Rumah Citra Indonesia Fatkurohman mengungkapkan bahwa ketiadaan calon kepala daerah adalah bukti ada krisis kaderisasi di tubuh partai politik.
Faktor sentralisasi kebijakan dukungan politik pilkada di tubuh partai pun mendukung terjadinya fenomena kotak kosong tersebut.
"Banyaknya kader potensial yang seharusnya bisa maju tidak didukung oleh kebijakan partai di tingkat pusat sehingga gagal maju. Ini sedikit banyak menyumbang adanya kotak kosong di pilkada," kata Fatkur.
Contoh pilkada yang melibatkan kotak kosong di Sumsel pernah terjadi di Prabumulih pada 2018 lalu. Petahana Ridho Yahya berhasil unggul dan menunjukkan petahana berhasil dalam kinerjanya melawan kotak kosong.
Menurut Fatkur, kotak kosong selalu memiliki kans untuk menang melawan paslon tunggal. Tergantung bagaimana dinamika politik di daerah.
Jika ada kelompok yang giat membangun narasi memilih kotak kosong, kans paslon tunggal kalah jadi semakin besar. Apalagi jika selama ini paslon petahana tidak menunjukkan kinerja yang baik.
"Potensi masyarakat memilih kotak kosong terbuka jika ada ketidakpuasan publik terhadap kinerja petahana. Belum lagi jika dukungan oposisi di belakang kotak kosong menguat dan berhasil membangun narasi petahana gagal," katanya.
(idz/bmw)