Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Fajri Nursyamsi mengatakan proses pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja hingga disahkan menjadi UU tidak melibatkan partisi publik secara maksimal. Demokrasi dinilai terabaikan.
"Proses yang tidak transparan dan partisipatif menjadi warna yang tidak dapat dihilangkan dalam menggambarkan proses pembentukan UU Cipta Kerja. Proses legislasi dilakukan secara tergesa, dan abai untuk menghadirkan ruang demokrasi," kata Fajri dalam keterangannya, Selasa (6/10).
Ada tiga hal yang disoroti Fajri, yakni pembahasan di masa reses dan di luar jam kerja, risalah rapat pembahasan tidak disebarluaskan kepada masyarakat dan tidak pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak dalam rapat paripurna pengesahan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mengenai pembahasan di luar jam kerja atau selain Senin-Jumat, Fajri mengatakan memang dibolehkan jika disetujui dalam rapat dan oleh pimpinan DPR. Akan tetapi, tetap harus diketahui oleh publik.
"Di luar waktu rapat serta di luar Gedung DPR inilah yang tidak pernah dipublikasikan kepada publik. Sehingga tidak dapat diketahui mengapa pembahasan RUU Cipta Kerja begitu cepat dan cenderung dipaksakan," kata dia.
Fajri mengatakan sejak awal pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja sudah aneh. Pada Rapat Kerja pertama pembahasan RUU Cipta Kerja langsung membentuk Panitia Kerja. Padahal pada saat itu fraksi-fraksi di DPR belum rampung menuntaskan Daftar Inventaris Masalah (DIM).
Pembentukan Panja juga terburu-buru karena pada saat itu belum dilakukan Rapat Dengar Pendapat Umum yang seharusnya banyak dilakukan pada tingkat Rapat Kerja.
"Tertutupnya ruang demokrasi dalam pembahasan RUU Cipta Kerja disebabkan juga karena ruang partisipasi yang minim. Ruang-ruang yang terbuka hanya formalitas tanpa makna," kata Fajri
"Rapat-rapat yang disiarkan langsung hanya yang bersifat pemaparan, bukan pengambilan keputusan," tambahnya.
![]() |
Rapat pengesahan di paripurna juga disorot Fajri. Diketahui, ada dua fraksi yang menolak yaitu PKS dan Demokrat. Mereka meminta agar pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja ditunda.
Namun, pimpinan DPR tetap mengesahkan tanpa ada pemungutan suara terbanyak.
Padahal, apabila pengambilan keputusan dengan cara musyawarah mufakat tidak tercapai, maka dilakukan berdasarkan suara terbanyak. Hal itu tertuang dalam Pasal 308 Ayat (3) Peraturan No. 1 tahun 2020 tentang Tata Tertib DPR.
Keabsahan pengambilan keputusan dalam Sidang Paripurna DPR pengesahan RUU Cipta Kerja juga dipertanyakan karena banyak anggota DPR yang tidak hadir.
PSHK lalu mendesak DPR agar menyebarluaskan seluruh risalah dan catatan dari setiap rapat atau sidang yang dilakukan dalam membahas RUU Cipta Kerja.
DPR perlu sesegera mungkin menyebarluaskan draf terakhir RUU Cipta Kerja yang disahkan menjadi UU. Kemudian, PSHK juga meminta DPR serta presiden melakukan evaluasi dalam penggunaan metode omnibus dalam menyusun undang-undang.
PSHK meminta DPR dan Presiden menghentikan seluruh agenda legislasi karena selama ini telah gagal melibatkan atau memberikan ruang maksimal terhadap partisipasi publik di tengah pandemi virus corona.
![]() |
Terpisah, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan RUU Omnibus Law Cipta Kerja jelas mengabaikan hak asasi manusia (HAM). Tak ada penegakkan komitmen atas HAM oleh pemerintah dan DPR.
Ada dua hal yang disoroti Usman, yakni isi RUU Omnibus Law dan larangan bagi masyarakat selama ini yang ingin menyuarakan aspirasi penolakan. Keduanya merampas HAM masyarakat secara umum.
"Mereka yang menentang karena substansi Ciptaker dan prosedur penyusunan UU baru ini sama sekali tidak menjadi pertimbangan para pembuat kebijakan," kata Usman melalui rilis yang diterima CNNIndonesia.com, Selasa (6/10).
Alih-alih mendengar aspirasi dan masukan dari masyarakat, pemerintah dan DPR justru hanya mendengarkan kelompok yang merasa sulit berinvestasi. Usman mengatakan seharusnya DPR dan pemerintah lebih mendengar keluhan pekerja.
"Anggota dewan dan pemerintah nampaknya, lebih memilih untuk mendengar kelompok kecil yang diuntungkan oleh aturan ini. Sementara hak jutaan pekerja kini terancam," kata dia.
Usman lalu mendesak pemerintah dan DPR untuk membahas kembali RUU Omnibus Law Cipta Kerja sebelum diundangkan. Menurutnya, keluhan para pekerja mesti diserap karena kelompok tersebut yang paling terkena dampak buruknya.
"Kami mendesak anggota DPR untuk merevisi aturan-aturan bermasalah dalam UU Ciptaker. Hak asasi manusia harus menjadi prioritas di dalam setiap pengambilan keputusan," kata Usman.