Dosen hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar mengatakan terdapat sejumlah kecacatan formil yang dapat ditelaah pada pembahasan UU Cipta Kerja di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
"Saya harus sampaikan bahwa UU ini dibuat dengan proses formil yang bermasalah, dan substansi materiil yang masih banyak catatan," katanya melalui konferensi pers daring yang digelar FH UGM, Selasa (6/10).
Hal tersebut, katanya, dapat ditarik dari beberapa insiden pada pembahasan hingga pengesahan di Rapat Paripurna. Di antaranya adalah minimnya partisipasi masyarakat dalam pembahasan UU.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada pembentukan sebuah UU, publik seharusnya mendapatkan risalah atau catatan pembahasan dari awal sampai akhirnya diputuskan untuk disahkan. Ini untuk membuka ruang masyarakat turut mengawal pembentukan UU.
Namun hal tersebut tak terjadi pada pembahasan UU Cipta Kerja. Aspirasi masyarakat yang diterima pun ia diduga dipilah sesuai keinginan pemerintah dan DPR.
"Aspirasi ditutup dan selected, hanya pihak-pihak tertentu yang didengarkan. Menurut saya ini mirip orang buat skripsi, sudah punya kesimpulan. Hanya cari data yang mendukung saja, seakan-akan dipilih orang-orang yang didengar," jelasnya.
Kemudian ia juga mempertanyakan sejumlah anggota DPR yang dikatakan tidak menerima draf final UU ketika mengikuti Rapat Paripurna. Ia menyebut rapat tersebut seolah hanya formalitas.
"Jadi Paripurna hanya kayak Paripurna cek kosong. Yang hanya dilakukan, tapi kemudian draf tidak dibagikan ke masing-masing anggota. Anggota tidak tahu apa sebenarnya yang harus dikomentari," ungkapnya.
Zainal mengatakan paska UU Cipta Kerja disahkan, masyarakat tetap harus mengawal poin-poin di dalamnya. Menurutnya, potensi adanya pasal selipan dimasukan ke dalam UU setelah disahkan di DPR selalu ada.
Ini belajar dari pengalaman pembentukan dan perubahan UU yang selama ini terjadi. Ketika DPR menyampaikan draf UU kepada pemerintah untuk diperbaiki secara teknis, terkadang ada perbaikan yang dilakukan bisa melebihi yang seharusnya.
"UU Pemilu misalnya yang kita lihat kita kawal, terjadi penambahan-penambahan itu. Dengan ketiadaan tidak dibaginya risalah, draf, kontrolnya akan jadi sulit," ujarnya.
Pada tahapan ini, ia mengakui tidak ada jalan lain untuk menggagalkan Omnibus Law kecuali dengan judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK). Namun menurutnya tekanan publik dapat memberi dorongan kepada Presiden Joko Widodo.
Jika publik terus menyuarakan pendapatnya terkait UU Cipta Kerja, Zainal berharap Jokowi akan mempertimbangkan menandatangani dokumen tersebut. Meskipun secara keseluruhan hal itu tak berdampak banyak, karena UU akan tetap berlaku 30 hari setelahnya.
Menambahkan, Departemen Hukum Perdata Bagian Ketenagakerjaan UGM Nabila Risfa Zatti mengatakan pihaknya menemukan sejumlah pasal ambigu pada UU Cipta Kerja. Beberapa pasal dinilai berpotensi menggagalkan tujuan pemerintah menyederhanakan kebijakan dalam rangka mendongkrak investasi.
"Banyak dalam ketentuan pasal di UU Cipta Kerja yang membutuhkan pengaturan lebih lanjut. Ini bertentangan dengan semangat yang awalnya seakan-akan diusung Omnibus Law yang ingin mensimplifikasi kebijakan," katanya.
Dari aspek hukum ketenagakerjaan, juga terdapat pengaturan pasal yang dinilai janggal pada UU tersebut. Misalnya perkara pesangon untuk pegawai yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
Ia menilai aneh UU Cipta Kerja mengatur batas maksimal pesangon. Padahal, seharusnya UU mengatur batas minimal. Jika yang diatur batas maksimal, maka perusahaan bisa menentukan pesangon jauh dari maksimal.
"Banyak hal detail sepertinya yang dibuat tergesa-gesa. Dari sisi klaster ketenagakerjaan, banyak yang perlu dikaji ulang," lanjutnya.
Sebelumnya DPR mempercepat Rapat Paripurna pengesahan UU Cipta Kerja pada Senin (5/10). Beleid ini menuai banyak kritik dan kontroversi karena dinilai merampas hak rakyat, utamanya buruh. Kendati begitu, pemerintah berharap UU Cipta Kerja dapat membantu pemulihan ekonomi dan mendorong investasi.
(fey/gil)