Pada akhir periode pertama menjabat Presiden RI, Joko Widodo menjanjikan komitmen membangun Indonesia semaksimal mungkin. Ia menyinggung statusnya sebagai petahana memungkinkan dirinya memperjuangkan upaya terbaik bagi negara.
"Lima tahun ke depan, mohon maaf, saya sudah tidak ada beban lagi. Saya tidak bisa nyalon lagi [pada Pilpres 2024]," ungkapnya di Jakarta Pusat, 9 Mei 2019.
"Jadi apapun yang terbaik untuk negara akan saya lakukan," lanjutnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia tak merinci lebih jelas beban yang dimaksud bisa dilepaskan di periode kedua. Hanya satu hal yang pasti, berdasarkan UUD 1945 dan UU Nomor 7 Tahun Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Jokowi memang tidak dapat mencalonkan kembali setelah menyelesaikan jabatannya di periode kedua.
Pengamat politik dari Indonesia Public Institute (IPI), Karyono Wibowo menilai kondisi ini seharusnya membebaskan Jokowi dari tekanan politik dari partai pengusungnya. Namun hingga detik ini, dalam anggapan Karyono, realitas Jokowi lepas dari belenggu partai politik tak semulus klaimnya yang lalu.
Mestinya, sambung Karyono, Jokowi tak lagi harus memelihara komitmen untuk menjaga dukungan di pemilihan selanjutnya. Jajaran menteri yang ditetapkan Jokowi tiga hari setelah pelantikannya di periode kedua justru banyak merangkul unsur dari partai politik.
"Tapi faktanya susunan kabinet Jokowi-Ma'ruf 50 persen dari parpol," ujar Karyono kepada CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon, Selasa (13/10).
Pada Kabinet Indonesia Maju, sebanyak 17 kursi menteri diisi sosok dari unsur parpol. Partai pengusung Jokowi seperti PDI Perjuangan dapat empat kursi, Golongan Karya tiga kursi, Partai Kebangkitan Bangsa tiga kursi, Nasdem tiga kursi, dan Partai Persatuan Pembangunan satu kursi.
Sebanyak dua kursi menteri bahkan diberikan kepada partai lawan Jokowi di dua pilpres berturut-turut, yakni Gerindra. Prabowo Subianto diberi jabatan Menteri Pertahanan dan Edhy Prabowo sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Ini artinya setengah dari seluruh kursi menteri diisi unsur Parpol.
Alih-alih melepaskan ikatan politik, Karyono menduga ini merupakan strategi Jokowi memperkuat pemerintahannya di periode kedua.
![]() |
"Pak Jokowi ingin pemerintahannya di periode kedua ini kuat secara politik. Dia ingin dapat dukungan politik yang kuat, dengan tujuan menyukseskan agenda atau program pembangunan yang dicanangkan," jelasnya.
Asumsi itu merujuk pembuktian pada situasi saat ini. Banyak produk Undang-Undang usulan pemerintah lolos dengan mulus menjadi kebijakan meskipun banyak perlawan publik. Yang teranyar Omnibus Law UU Cipta Kerja.
Sejak draf masih disusun pemerintah sampai diketok di Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat, UU yang dibuat dengan harapan membuka lapangan pekerjaan tersebut menuai banyak protes. Baik dari unsur buruh, mahasiswa, sampai organisasi masyarakat.
Namun seolah tak digubris, pembahasan UU Cipta Kerja lanjut terus di tangan pemerintah dan DPR. Mayoritas fraksi di DPR menyetujui pengesahan omnibus law tersebut, kecuali Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera, partai oposisi pemerintah.
Sikap kompak pemerintah dan DPR ini bukan hanya sekali terjadi di periode kedua Jokowi. Fenomena serupa juga terjadi saat Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) tentang penanganan dampak Covid-19 yang dijadikan UU oleh DPR.
Perppu tersebut mulanya dikritik karena memberi imunitas bagi anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dari ancaman pidana, perdata dan tata usaha negara. Ini dinilai dapat menjadi celah penyalahgunaan anggaran.
Perppu ini sempat digugat ke Mahkamah Konstitusi oleh elemen masyarakat yang terdiri dari Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), mantan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais, dan ketua Dewan Pertimbangan MUI Din Syamsuddin dalam gugatan berbeda.
Menurut Karyono, ini merupakan dampak dari gemuknya koalisi pemerintahan Jokowi yang juga menduduki mayoritas 70 persen kursi di DPR. Visi politik maupun kebijakan yang dikerahkan mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut tak banyak mendapati halangan.
Namun, katanya, ini tak kemudian membuat kepentingan yang terbaik bagi negara dan rakyat terakomodir seperti janjinya tahun lalu. Kepuasan masyarakat terhadap kepemimpinan Jokowi justru diklaim cenderung menurun di periode kedua.
"Dukungan politik yang kuat justru tidak berbanding lurus dengan tingkat kepuasan publik. Kalau dibandingkan dengan kinerja pemerintahan periode pertama dengan kedua, itu ada penurunan," ujarnya.
Lembaga survei Indikator Politik mencatat kepuasan dan kepercayaan publik kepada Jokowi, khususnya di tengah pandemi covid-19. Pada Mei 2020 tercatat kepuasan publik mencapai 66,5 persen. Sedangkan pada Juli angkanya menjadi 60 persen.
Meskipun wabah yang terjadi secara global diduga turut berpengaruh pada penurunan ini, namun Karyono menilai kebijakan yang diambil Jokowi untuk menanggulangi sejumlah isu dan fenomena nasional juga berpengaruh.