Badan Reserse Kriminal Polri telah menetapkan sembilan tersangka yang diduga menghasut kericuhan selama demo menolak omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja beberapa waktu terakhir. Polri menganalisis dari unggahan di media sosial yang dianggap seperti laba-laba.
Dari sembilan tersangka itu, beberapa di antaranya terafiliasi dengan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Bahkan tiga petinggi kelompok itu turut diringkus oleh aparat kepolisian.
Adapun para tokoh itu adalah anggota Komite Eksekutif KAMI, Syahganda Nainggolan dan Jumhur Hidayat serta satu Deklarator KAMI, Anton Permana. Ketiganya diringkus akibat berkomentar terkait omnibus law di media sosial dan diduga menjadi pemicu demo.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hanya saja, aparat kepolisian tak bisa menerangkan secara lugas mengenai hubungan antara unggahan para tersangka di akun media sosial dengan kericuhan selama demo.
"Yang namanya IT itu, kalau kita lihat seperti laba-laba, ke sana ke mari semua seperti laba-laba, baru kita analisa. Nanti akan ketemu ke mana ternyata dengan adanya kegiatan unjuk rasa anarkis, vandalisme," kata Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Argo Yuwono, Kamis (15/10).
Argo menuturkan pengakuan beberapa pelajar yang ditangkap menunjukkan bahwa ajakan demonstrasi itu bermula dari media sosial.
Unggahan para tokoh KAMI itu pun dinilai aparat memiliki pola yang sama. Sehingga, penyidik berkesimpulan bahwa unggahan-unggahan itu menghasut massa untuk melakukan kericuhan.
Beberapa contoh unggahan yang dipermasalahkan polisi misalnya, Anton Permana yang menggunggah istilah "Negara Kepolisian Republik Indonesia" sebagai kepanjangan NKRI.
Kemudian, Jumhur Hidayat menulis di akun Twitternya bahwa UU Cipta Kerja primitif, investor dari RRT, dan pengusaha rakus. Terakhir, Syahganda Nainggolan menggunggah foto yang diberi keterangan tak sesuai dengan kejadian.
Motifnya, kata Argo, SN mendukung demonstran dengan berita yang tidak sesuai gambar.
"SN juga sama, dia menyampaikan ke Twitternya, yaitu salah satunya menolak omnibus law, mendukung demonstrasi buruh, belasungkawa demo buruh," kata Argo.
Mereka pun dijerat pasal-pasal beragam, mulai dari Undang-Undang Informatika dan Transaksi Elektronik (ITE) soal penyebarang berita hoaks, ujaran kebencian berdasarkan SARA, hingga pasal KUHP tentang penghasutan.
Selain tiga petinggi KAMI itu, dua tersangka lain juga diduga mengunggah konten di media sosial. Kemudian, ada pula tersangka yang dijerat di wilayah Medan, Sumatera Utara lantaran berkomunikasi melalui WhatsApp Group untuk merencanakan kericuhan selama demonstrasi.
Salah satu tersangkanya adalah, Khairi Amri yang merupakan Ketua KAMI Medan sekaligus admin WhatsApp Group KAMI Medan.
![]() |
Dari perencanaannya, polisi turut mengamankan bukti dari salah satu tersangka yang membuat rencana skenario seperti kerusuhan 1998. Seperti penjarahan toko etnis China, dan melibatkan preman-preman lain.
Mereka pun dituduhkan juga telah menyiapkan bom molotov untuk menyulut kericuhan selama aksi.
"Ada sudah kami jadikan barbuk kata-kata seperti itu," kata Argo.
Penetapan status tersangka di tengah gelombang penolakan UU Ciptaker ini memang banyak menuai polemik dan kritik.
Peneliti Komisi Untuk Orang Hilang Dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Rivanlee Anandar menilai bahwa kasus tersebut merupakan bagian dari narasi pembungkaman yang menunjukkan sikap kepolisian sebagai lembaga yang antikritik.
"Pejabat publik termasuk di tingkat kepolisian semestinya mengambil kritik sebagai refleksi institusi supaya terus menjadi lembaga yang lebih baik," kata Rivan saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (15/10).
Dia pun menilai bahwa kepolisian tidak dapat mengelaborasi dengan jelas mengenai perkara yang dipermasalahkan dalam kasus itu. Misalnya, kata dia, cuitan Anton terkait NKRI yang dianggap bermasalah, namun tidak dijelaskan mengapa cuitan itu berimplikasi pada aksi yang ricuh.
"Polisi harus punya ukuran yang jelas yang membuat tweet tersebut berdampak kepada kerusuhan," kata Rivan.
"Jika tidak ditemukan, maka jadi preseden buruk. Sebab sangat subjektif," ujar dia lagi.
Kasus ini pun, menurutnya, akan berbahaya bagi kebebasan berekspresi masyarakat. Cuitan-cuitan yang kritis terhadap pemerintah malah dianggap sebagai ancaman yang perlu ditangkap aparat kepolisian.
Oleh sebab itu, kata dia, tak jarang juga institusi kepolisian malah menjadi alat untuk melindungi agenda kekuasaan.
"Sementara aspirasi publik tidak tersampaikan dengan baik malah dibungkam," ujarnya.
(mjo/pmg)