Survei KPK Ungkap Kenaikan Tren Cakada Patuh pada Sponsor

CNN Indonesia
Rabu, 21 Okt 2020 02:05 WIB
Survey KPK pada gelaran tiga pilkada terakhir menemukan kenaikan tren para calon bersedia mematuhi keinginan pihak ketiga atau sponsor.
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri. (ANTARA FOTO/MUHAMMAD ADIMAJA)
Jakarta, CNN Indonesia --

Survey Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada gelaran tiga pemilihan kepala daerah (Pilkada) terakhir menemukan tren para calon bersedia mematuhi keinginan pihak ketiga atau sponsor.

Pada Pilkada 2018 lalu, KPK menemukan calon kepala daerah yang bersedia memenuhi keinginan sponsor mencapai 83,80 persen.

Angka itu lebih tinggi beruntun dari dua gelaran pilkada sebelumnya yakni 2015 dan 2017.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada pilkada 2015 angkanya adalah 75,80 persen. Lalu, pada gelaran Pilkada 2017, naik menjadi 82,20 persen.

"Artinya, para calon kepala daerah ini sudah menggadaikan kekuasaannya kepada pihak ketiga yang membiayai biaya pilkada," ujar Ketua KPK Firli Bahuri dalam webinar Pilkada yang disiarkan secara daring di YouTube KPK, Selasa (20/10).

Berdasarkan analisis pihaknya, Firli menilai kondisi itu karena ongkos maju menjadi calon kepala daerah berada di bawah rata-rata kemampuan harta para calon.

Sehingga, mereka umumnya harus dibantu pihak ketiga atau sponsor.

Sementara, rata-rata modal atau harta yang dimiliki cakada berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) berada pada angka Rp18 miliar.

Firli mengatakan berdasarkan wawancara pihaknya, ada yang menyebut rata-rata ongkos maju menjadi kepala daerah mulai tingkat kota/kabupaten, hingga provinsi mulai dari Rp5-10 miliar. Bahkan, ada yang menyebut hingga Rp65 miliar.

"Makanya tidak jarang kita temukan setelah pilkada selesai, yang kalah itu ada yang ke rumah sakit jiwa. Ada yang didatangi oleh para donatur yang meminjamkan uang. Ini yang saya kira akan menjadi beban setelah nanti terpilih sebagai kepala daerah," kata dia.

Sementara itu, berdasarkan catatan KPK, Firli menyebut angka korupsi lebih banyak terjadi di tahun politik seperti pada gelaran Pilkada.

Kasus korupsi paling banyak terjadi saat gelaran Pilkada 2018 dengan 30 kasus penangkapan dan 122 tersangka.

"2018 itu tertinggi kasus korupsi yang tertangkap. Saya harus katakan itu. Kasus korupsi yang tertinggi yang tertangkap, karena bisa saja belum tertangkap," kata Firli.

(thr/kid)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER