Sejumlah lembaga masyarakat sipil mengkritik respons Mahkamah Agung (MA), TNI dan Polri dalam menangani isu lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) di lingkungan institusi tersebut.
Gabungan organisasi masyarakat sipil yang terdiri atas Arus Pelangi, Ardhanary Institute, ELSAM, LBH Masyarakat dan SGRC Indonesia menilai, tindakan ketiga institusi negara dalam merespons isu LGBT bertentangan dengan konstitusi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Deputi Direktur Advokasi ELSAM, Andi Muttaqien mengatakan, tindakan LGBT mestinya dimaknai sebagai bagian dari keragaman orientasi seksual dan identitas gender. Hal ini pun, lanjut dia, dilindungi dan selaras dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM).
"Secara garis besar serangkaian tindakan Mahkamah Agung, TNI dan Polri tersebut bertentangan dengan konstitusi yakni Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 Jo Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan hak bebas dari perlakuan diskriminatif yang telah diatur dalam Pasal 28B ayat (2) Jo Pasal 28I ayat (2) UUD 1945," lanjut Andi dalam keterangan tertulis yang diterima CNNIndonesia.com, Kamis (22/10).
Ia melanjutkan, pembedaan perlakuan berdasarkan orientasi seksual merupakan tindakan diskriminatif terhadap kelompok LGBT.
Selain itu, gabungan organisasi masyarakat sipil juga menyorot mengenai status kesehatan yang dijadikan landasan sebagai pertimbangan hakim menjatuhkan putusan pengadilan.
"Pertimbangan hakim mengenai status HIV salah satu anggota TNI yang diputus bersalah juga tidak diiringi dengan pertimbangan-pertimbangan penting lainnya. Seseorang berstatus HIV+ kecil kemungkinan untuk menularkan virus ketika hubungan seksual yang ia lakukan konsensual, bebas dari kekerasan dan dilakukan secara aman."
Atas pelbagai runutan tersebut Mahkamah Agung (MA) sebagai institusi pemegang kekuasaan kehakiman yang berwenang mengadili, menurut Andi, mestinya bekerja dengan memegang prinsip HAM. Termasuk, ketika menangani perkara terkait isu LGBT.
"Dengan tidak melakukan penghukuman berdasarkan orientasi seksual tertentu merupakan pelanggaran hak asasi manusia," ucap Andi.
Sementara TNI dan Polri sebagai institusi negara juga berkewajiban melindungi HAM. Karena itu, kedua institusi tersebut semestinya tidak patut mengeluarkan keputusan yang diskriminatif dan bertentangan dengan HAM, termasuk keputusan di internal lembaga.
"Berhenti untuk melakukan monitoring dan pengawasan terhadap privasi anggotanya, termasuk status kesehatan, orientasi seksual, identitas gender, dan lain-lain," imbuh Andi.
TNI dan Polri juga harus menjunjung prinsip HAM dalam proses perekrutan dan pembinaan calon personelnya. Kedua institusi juga didesak menghentikan pemberian sanksi terhadap personel yang menjadi bagian dari kelompok LGBT.
![]() Infografis Kamus LGBT |
Sebelumnya, isu LGBT di lingkungan TNI/Polri pertama kali disinggung oleh Ketua Kamar Militer Mahkamah Agung (MA) Mayor Jenderal (Purn) Burhan Dahlan.
Hingga saat ini, MA mencatat ada 20 berkas perkara kasasi pelanggaran hukum prajurit terkait homoseksual yang ditangani MA. Dari jumlah tersebut, 16 perkara sudah diputus di tingkat kasasi.
Sementara di tubuh Polri, Brigadir Jenderal berinisal EP diketahui telah dijatuhi sanksi non-job hingga pensiun karena terlibat masalah LGBT. Perbuatan Brigjen EP juga dinyatakan sebagai perilaku tercela.
Tak hanya itu, Brigjen EP juga harus meminta maaf kepada pimpinan Polri dan pihak-pihak lain yang dirugikan. EP harus mengikuti serangkaian kegiatan pembinaan selama satu bulan.