Indonesia Corruption Watch (ICW) melaporkan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri dan Deputi Penindakan KPK Karyoto ke Dewan Pengawas.
Laporan dilayangkan oleh LSM antikorupsi ini menyusul putusan sidang etik dengan terperiksa Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Pengaduan Masyarakat KPK Aprizal, atas kasus operasi tangkap tangan (OTT) di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Berdasarkan tanda terima surat, laporan dilayangkan pada Senin (26/10) pukul 11.40 WIB. ICW memasukkan satu bundel dokumen dalam aduannya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Berdasarkan petikan putusan APZ (Aprizal) Plt Direktur Pengaduan Masyarakat KPK, diduga terdapat beberapa pelanggaran serius yang dilakukan oleh keduanya," kata peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, dalam pesan tertulis, Senin (26/10).
ICW mencatat setidaknya terdapat empat dugaan pelanggaran kode etik yang terjadi. Pertama, Kurnia menyebut Firli berkukuh mengambil alih penanganan kasus yang saat itu dilakukan oleh Inspektorat Jenderal Kemendikbud.
Padahal, lanjut dia, pihak Dumas KPK sudah menjelaskan bahwa setelah Tim Dumas melakukan pendampingan, tidak ditemukan unsur penyelenggara negara.
"Berdasarkan Pasal 11 ayat (1) huruf a UU KPK, maka tidak memungkinkan bagi KPK untuk menindaklanjuti kejadian tersebut," ucap Kurnia.
Persoalan kedua, Kurnia menyatakan Firli telah membuat kesimpulan sendiri bahwa ditemukan unsur tindak pidana dalam pendampingan yang diberikan. Padahal, Kurnia menduga jenderal polisi bintang tiga itu tidak mengetahui kejadian sebenarnya.
"Menjadi janggal jika Firli langsung begitu saja menyimpulkan ada tindak pidana korupsi dan dapat ditangani oleh KPK," tuturnya.
Kurnia berujar, tindakan Firli dan Karyoto saat menerbitkan surat perintah penyelidikan dan pelimpahan perkara ke kepolisian diduga tidak didahului dengan mekanisme gelar perkara di internal KPK.
"Padahal, dalam aturan internal KPK telah diatur, untuk melakukan dua hal tersebut mesti didahului gelar perkara yang diikuti stake holder kedeputian penindakan serta para pimpinan KPK," terang Kurnia.
Catatan keempat, Kurnia menilai tindakan Firli mengambil alih penanganan Inspektorat Jenderal Kemendikbud diduga atas inisiatif pribadi tanpa melibatkan ataupun mendengar masukan dari pimpinan KPK lainnya.
Hal itu bertentangan dengan Pasal 21 UU KPK yang menyebutkan bahwa pimpinan KPK bersifat kolektif kolegial.
"Berdasarkan hal di atas, ICW menduga tindakan keduanya telah melanggar Pasal 4 ayat (1) huruf b, Pasal 5 ayat (1) huruf c, Pasal 5 ayat (2) huruf a, Pasal 6 ayat (1) huruf e, Pasal 7 ayat (1) huruf a, Pasal 7 ayat (1) huruf b, Pasal 7 ayat (1) huruf c Peraturan Dewan Pengawas Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK," imbuhnya.
Dalam kasus pelanggaran kode etik terkait OTT di UNJ dan Kemendikbud, Dewan Pengawas KPK sebelumnya sudah memeriksa Aprizal.
Aprizal dinyatakan terbukti melanggar kode etik sebagaimana diatur Pasal 5 Ayat 2 huruf a Peraturan Dewan Pengawas KPK Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK.
Ia dijatuhi hukuman sanksi ringan berupa teguran lisan yang berlaku selama 1 bulan.
Selama waktu tersebut, Aprizal tidak dapat mengikuti program promosi, mutasi, rotasi, dan/atau tugas belajar/pelatihan baik yang diselenggarakan di dalam, maupun di luar negeri.
CNNIndonesia.com sudah mencoba menghubungi Firli dan Karyoto melalui pesan tertulis untuk mendapat respons atas pelaporan ICW ini. Namun hingga berita ini ditulis, keduanya belum memberikan balasan.
Firli sebelumnya pernah dinyatakan melanggar kode etik terkait penggunaan helikopter untuk kepentingan pribadi. Ia dijatuhi teguran tertulis II oleh Dewas KPK.
(ryn/psp)