Dewan Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa menilai materi Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) tak lebih baik bahkan justru lebih rendah dari Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Federasi serikat pekerja itu menggugat muatan materi yang tercantum dalam Pasal 81 angka 15, 19, 25, 29, 44 UU Ciptaker. Gugatan itu terdaftar dengan nomor registrasi 87/PUU-XVIII/2020.
Gugatan tersebut diwakili Deni Sunarya selaku ketua umum dan Muhammad Hafidz selaku sekretaris umum. Mereka berpendapat ketentuan tersebut berpotensi merugikan hak-hak konstitusional pekerja atau buruh.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mereka melayangkan gugatan terhadap UU Ciptaker yang belum diberi nomor dan ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi). UU tersebut diteken Jokowi pada 2 November lalu dan diberi nomor 11 tahun 2020.
"Muatan materi UU Ciptaker tidak lebih baik dan justru lebih rendah dari UU Ketenagakerjaan," kata Hafidz saat membacakan permohonan dalam sidang di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu (4/11).
Hafidz menyatakan pihaknya mempersoalkan perihal hubungan kerja termasuk kontrak kerja dan alih daya (outsourching), upah minimum dan uang pengganti sebagai komponen dari kompensasi pemutusan hubungan kerja (PHK).
Ia menerangkan Pasal 81 angka 15 UU Ciptaker telah mengubah muatan materi Pasal 59 UU Ketenagakerjaan. Dalam bleid itu, jangka waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) hanya dilakukan 2 tahun dan maksimal diperpanjang selama 1 tahun.
Menurut Hafidz, pasal tersebut untuk memberikan kepastian hukum terhadap pelaksanaan pekerjaan tertentu yang menurut jenis, sifat, dan kegiatan pekerjaan akan selesai pada waktu tertentu. Namun, dalam UU Ciptaker batasan tersebut justru dihapus.
"Akibatnya jika tidak diberikan jangka waktu maka pemberi kerja dapat menjanjikan kerja dengan perpanjangan atau pembaharuan janji kerja tertentu bertahun-tahun," ujarnya.
Selain itu, kata Hafidz, upah minimum dalam UU Ketenagakerjaan dihitung berdasarkan dua variabel yakni inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Namun, bleid tersebut yang termuat dalam UU Ciptaker diubah, frasa 'dan' menjadi 'atau'.
"Artinya upah minimum bisa milih satu. Implikasinya upah minimum yang biasanya naik 8-9 persen per tahun itu hanya bisa jadi 2-3 persen per tahun," katanya.
Hafidz juga mempersoalkan uang pengganti hak korban PHK yang hilang. Ia menjelaskan komponen hak dalam UU Ketenagakerjaan ketika adanya PHK termaktub tiga hal, yakni pesangon, penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak. Lagi-lagi ketentuan itu tak tercantum dalam UU Ciptaker.
"Sayangnya dalam UU Ciptaker uang penggantian perumahan, pengobatan, dan perawatan yang besarnya cukup besar yaitu 15 persen itu dihilangkan," ujarnya.
Berdasarkan sejumlah persoalan di atas, Hafidz meminta MK agar mengabulkan seluruh permohonan yang diajukan.
"Menyatakan Pasal 81 angka 15, 19, 25, 29, dan 44 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memenuhi kekuatan hukum mengikat," katanya.
Sebelumnya, Presiden Jokowi resmi meneken UU Ciptaker 1.187 halaman pada Senin (2/11). Aturan tersebut diundangkan dengan nomor 11 Tahun 2020.
Namun, masih terdapat sejumlah kekeliruan dalam UU Ciptaker yang sudah diteken Jokowi tersebut. Salah satu yang mencuat pertama adalah kejanggalan pada Pasal 6 yang merujuk pada Pasal 5.
Setelah UU Ciptaker resmi diundangkan, sejumlah kalangan buruh juga melayangkan gugatan ke MK, seperti Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI).
(ryn/fra)