Kesalahan penulisan dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dinilai tak bisa dibawa ke ranah hukum pidana. Pembuat undang-undang tak bisa dipidana.
Pakar Hukum Pidana Abdul Fickar mengatakan salah satu penyebab kesalahan tersebut tak bisa dibawa ke ranah hukum pidana karena terganjal undang-undang.
Dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) Pasal 245 mengatur soal impunitas tersebut. Selain itu, aturan yang mengganjal lainnya yaitu pasal 51 KUHP.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tetapi jika ditemukan bukti anggota DPR terima suap dalam rangka mengganti pasal, bisa dituntut pidana korupsi," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Jumat (6/11).
Pasal 245 ayat (1) mengatur anggota DPR tak bisa dipanggil untuk pemeriksaan oleh aparat penegak hukum terkait kasus pidana tanpa seizin Presiden yang mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
Sementara ayat (2), aturan pada ayat (1) tak berlaku jika anggota DPR tertangkap tangan melakukan pidana, menjadi tersangka kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara, serta menjadi tersangka pidana khusus.
Namun Fickar menjelaskan dalam konteks UU Ciptaker, kesalahan tersebut bersifat administratif politis.
"Apakah pidana? Dalam konteks ini hanya bersifat administratif politis, kecuali bisa dibuktikan yang sengaja mengubah, mendapatkan atau memperoleh sesuatu yang bersifat ekonomis sebagai suap atau gratifikasi," kata Fickar.
Pakar Hukum Pidana Chairul Huda juga menjelaskan kesalahan administratif dalam UU Ciptaker tak bisa diseret ke ranah hukum pidana.
"Enggak bisa dipidana, itu kesalahan administratif. Enggak bisa (pidana)," kata Chairul.
Menurut dia, kesalahan administratif itu berimplikasi kepada cacat prosedur pembentukan perundangan-undangan yang hanya bisa di bawa ke mahkamah konstitusi (MK).
"Implikasinya UU itu cacat prosedur dan bisa dibatalkan di MK, karena ternyata banyak kesalahan dan prosesnya tidak sesuai dengan prosedur, bagaimana sudah ditetapkan oleh DPR, tapi belum ada naskah, itu kan melanggar prosedur pembuatan UU dan membuat UU ini bisa dibatalkan," jelas dia.
Ia lebih lanjut mengulas balik perihal upaya membawa kesalahan dalam pembuatan undang-undang ke ranah hukum pidana, yakni pada kasus hilangnya ayat tembakau pada UU kesehatan.
Namun, belakangan perkara tersebut dihentikan penyidikannya oleh polisi alias SP3.
"Sudah pernah dicoba di ayat tembakau, tidak bisa. Itu waktu itu ada pasal nyelonong. Setelah diproses hukum, didalami, tidak ada ketentuan pidana yang diterapkan di situ," ucap dia.
![]() |
Di satu sisi, menurut Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti menilai kesalahan administrasi tersebut fatal dalam konteks pembuatan peraturan perundang-undangan.
Menurutnya, kesalahan teknis yang terjadi setelah ditandatangani Presiden Joko Widodo itu menjadi gambaran bahwa UU Ciptaker sudah cacat sejak dalam prosedur dan substansi.
Kekeliruan isi undang-undang setelah disahkan dan ditandatangani presiden, kata dia, bisa menjadi preseden buruk ke depannya.
Ia pun mengkritik pernyataan Mensesneg Pratikno yang menganggap enteng kesalahan dalam UU Ciptaker.
"Menurut saya yang paling ngaco adalah bahwa pemerintah mengerdilkan proses legislasi seakan orang lagi bikin makalah atau skripsi kalau ada kesalahan langsung saja direvisi" kata Bivitri.
Pratikno mengakui kekeliruan dalam UU Ciptaker. Dia pun menilai kesalahan itu tak berpengaruh pada implementasi undang-undang tersebut, namun hanya kesalahan bersifat teknis administratif.
"Hari ini kita menemukan kekeliruan teknis penulisan dalam UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Namun kekeliruan tersebut bersifat teknis administratif sehingga tidak berpengaruh terhadap implementasi UU Cipta Kerja," kata Pratikno lewat pesan yang diterima CNNIndonesia.com, Selasa (3/11).
Kemensetneg hingga kini belum menjelaskan detail soal sosok pejabat beserta sanksinya setelah diakui ada kesalahan dalam penulisan UU Ciptaker.
"Nanti saya cek saja ya karena kemarin saya kan hanya menyampaikan yang normatif saja ya," kata Asisten Deputi Hubungan Masyarakat Kemensetneg Eddy Cahyono Sugiarto saat dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat(6/11).
"Coba saya cek dulu itu sepertinya di Biro SDM yang menangani, ada biro tersendiri," kata dia.
Eddy pada kesempatan sebelumnya menyatakan kekeliruan itu murni human error alias kesalahan manusia. Dia pun mengatakan pihaknya telah menjatuhkan sanksi terhadap pejabat yang bertanggung jawab dalam proses penyiapan draf RUU sebelum diajukan kepada Presiden Jokowi.
Terdapat sejumlah kekeliruan pasal dalam UU Ciptaker. Pasal yang pertama menjadi sorotan adalah Pasal 6 di Bab III Peningkatan Ekosistem Investasi dan Kegiatan Berusaha. Pasal itu merujuk kepada Pasal 5 ayat (1). Sementara Pasal 5 tak memiliki ayat sama sekali.
Lalu, dua ayat di Pasal 5 serupa dengan Pasal 4. Dua-duanya sama-sama mencantumkan sepuluh ruang lingkup UU Ciptaker. Selanjutnya, Pasal 151 di Bab IX Kawasan Ekonomi yang mengatur soal lokasi kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas.
Permasalahan pasal ini juga terkait rujukan pasal sebelumnya. Pasal 151 ayat (1) merujuk pasal 141 huruf b. Dilihat lebih seksama, Pasal 141 UU Ciptaker tak memiliki poin-poin dan berbeda konteks dengan Pasal 151.
Kemudian kekeliruan ditemukan pada Pasal 175 ayat (5) tertulis merujuk pada ayat (3), padahal seharusnya merujuk pada ayat (4).
(yoa/khr/pmg)