ANALISIS

Gaduh Larangan Buta Draf RUU Minuman Beralkohol di RI

CNN Indonesia
Sabtu, 14 Nov 2020 15:03 WIB
Pengamat hukum dan kebijakan publik menilai RUU Larangan Minuman Beralkohol bukan hal urgen karena aturan terkait berserak di sejumlah aturan dan undang-undang.
DPR saat ini diketahui tengah menggodok RUU larangan minumnan berakohol. (CNN Indonesia/Hesti Rika)
Jakarta, CNN Indonesia --

Pembahasan RUU Larangan Minuman Beralkohol (RUU Minol) mencuat setelah naskahnya diketahui telah masuk ke kantong Badan Legislasi (Baleg) DPR RI. RUU minuman beralkohol ini sendiri memang masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2020.

Menanggapi rencana pembentukan perundangan-undangan tersebut, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mewaspadai potensi kriminalisasi yang berlebihan yang mungkin terjadi andai RUU larangan minuman beralkohol itu menjadi undang-undang. Atas dasar itu, Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu mengatakan perkumpulannya berpendapat RUU larangan minol itu tak perlu dibahas DPR.

Erasmus mengatakan setelah membaca draf RUU larangan minol yang tersedia di situs DPR, pihaknya melihat bakal beleid tersebut berpendekatan larangan buta.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Dengan semangat prohibitionist atau larangan buta, hanya akan memberikan masalah besar, seperti apa yang negara Indonesia hadapi pada kebijakan narkotika," kata Erasmus dalam rilis ICJR, Rabu (11/11).

Selain mengakibatkan potensi kriminalisasi berlebihan, pengamat lain menilai RUU minuman beralkohol itu bisa dianggap tak sejalan dengan kepentingan publik.

Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Satria Aji Imawan menilai tak ada urgensi yang benar-benar mendesak dari undang-undang larangan minuman berlakohol ini.

"Tidak urgent. Bisa ditunda. Masih banyak hal yang lebih urgent seperti RUU terkait Kesehatan," kata Satria Aji lewat aplikasi pesan saat dimintai pendapatnya, Kamis (12/11) malam.

Dia sendiri mengaku tak setuju dengan jerat pidana alkohol dalam rancangan undang-undang ini. Bahkan kata dia, mestinya DPR membuat kajian lengkap dan mempelajari kebijakan dari beberapa negara yang juga memproduksi alkohol.

"Saya tidak setuju jerat pidana alkohol karena yang salah pemakainya bukan alkoholnya. Persis seperti persoalan rokok, yang salah ketika orang terlalu banyak, bukan rokoknya. Dalam hal ini DPR bisa belajar alcohol policy di negara-negara maju," kata dia.

Selain itu, andai beleid tersebut diundangkan, dia mengaku ada kekhawatiran akan munculnya tendensi-tendensi negatif, termasuk lewat kiprah organisasi kemasyarakatan (ormas).

"Kalau RUU disahkan saya khawatir pengawasan justru dilakukan oleh ormas, padahal penegak aturan negara bukan ormas tapi militer atau polisi," kata Satria Aji.

"Harusnya DPR melakukan kajian terhadap penggunaan alkohol. Apa saja hal yang dirugikan. Setahu saya ada naskah akademik sebelum regulasi terbentuk. Itu harus dicek," lanjutnya.

Pekerja mengukur kadar alkohol yang terkadung di Ciu Bekonang, Sukoharjo, Jawa Tengah, 1 Februari 2019. (CNN Indonesia/ Hesti Rika)Pekerja mengukur kadar alkohol yang terkadung di Ciu Bekonang, Sukoharjo, Jawa Tengah, 1 Februari 2019. (CNN Indonesia/ Hesti Rika)

Sementara itu, peneliti dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan mengatakan alih-alih membuat aturan yang melarang peredaran dan akses kepada minuman alkohol yang tercatat (legal), pemerintah sebaiknya fokus pada penegakkan hukum dari peraturan yang sudah ada.

"Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2004 pun juga sudah ditegaskan bahwa minuman beralkohol merupakan komoditas yang diperdagangkan dan berada dalam pengawasan," ujar Pingkan dalam keterangan yang diterima CNNIndonesia.com, Kamis (12/11).

Selain itu, Pingkan menilai dari aspek sosial, klaim yang disampaikan pengusul RUU itu terlihat mengabaikan situasi empiris masyarakat Indonesia.

Pada kenyataannya, kata dia, konsumsi minuman beralkohol di Indonesia relatif lebih rendah dibandingkan negara lain, dan itu pun masih didominasi minuman beralkohol tidak tercatat atau ilegal.

Ia mencontohkan hasil riset lembaganya yang dilakukan pada 2016, 2018, dan 2019 tergolong rendah yakni di bawah satu liter per kapita. Angka itu jauh lebih rendah dari Thailand yang merupakan pengonsumsi alkohol tertinggi di Asia Tenggara yakni 8,3 liter per kapita.

Kemudian, Pingkan mengutip data badan kesehatan dunia (WHO) bahwa di Indonesia ini konsumsi alkohol tidak tercatat atau ilegal adalah 0,5 liter, sementara yang tercatat alias legal adalah 0,3 liter per kapita.

Tingginya tingkat konsumsi alkohol tidak tercatat atau ilegal atau oplosan itu, kata dia, seharusnya menjadi refleksi tersendiri dalam penegakan hukum.

"Selain itu, rasanya kurang tepat jika sebagai negara hukum, Indonesia masih memberlakukan peraturan perundang-undangan yang cenderung mengabaikan aspek pluralitas keagamaan di Indonesia," ujar Pingkan.

Pemusnahan barang bukti minuman keras dan rokok  ilegal hasil tangkapan Bea Cukai di Kantor Pusat Bea Cukai, Rawamangun, Jakarta, Kamis, 19 Desember 2019. Bea Cukai Jakarta melakukan pemusnahan 2.777.114 batang rokok dan 14.719 botol minuman keras ilegal berbagai merek senilai Rp 6.462.090.500 dengan kerugian negara ditaksir mencapai Rp 5.524.632.922. CNN Indonesia/Bisma SeptalismaPemusnahan barang bukti minuman keras ilegal hasil tangkapan Bea Cukai di Kantor Pusat Bea Cukai, Rawamangun, Jakarta, Kamis, 19 Desember 2019. (CNN Indonesia/Bisma Septalisma)

Jerit Artisan Alkohol Tradisional

Gungde Gotama adalah seorang artisan arak bali di Pulau Dewata. Dia mengatakan, arak atau alkohol telah menjadi salah satu pola dan tradisi yang tidak bisa dipisahkan dari Bali, bahkan dari sisi medis berfungsi jadi disinfektan.

"Arak itu sebagai disinfektan manusia. Terus kalau kita ngomong tentang dilarang, bagaimana dengan tradisi kita. Siapa yg salah? Apakah negara kejam dengan kita," ujar Gungde saat dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat (13/11).

Dari pemberitaan dia mengaku tahu bahwa terdapat pasal yang mencantumkan bahwa alkohol tak dilarang untuk acara keagamaan hingga tradisi adat. Meski ada pernyataan tak melarang untuk tradisi dan keagamaan, kata Gungde, toh di dalam RUU itu juga terdapat pasal-pasal yang berpotensi 'buta' dan merugikan para pembuat arak atau alkohol seperti dirinya.

Bagi Gungde dkk, suka atau tidak suka RUU larangan minuman beralkohol itu benar-benar berpotensi membahayakan para artisan atau pembuat alkohol tradisional.

"Kita bertentangan sekali. Kenapa jadi seperti membatasi tradisi. Sekarang kalau disetop, bagaimana keberlangsungan orang yang punya usaha, lahan besar, kelapa, aren yang itu untuk membuat arak untuk kehidupan kita, mereka," tutur Gungde.

"Ya untuk apa disahkan, untuk apa mengurusi hal seperti itu. Alkohol dan arak tidak pernah salah. Yang masalah itu bukan alkohol tapi orang yang menyalahgunakan alkohol," kata dia.

Artisan Arak Bali lainnya, Wira, memandang RUU ini hanya akan menimbulkan kegaduhan dan diskriminasi. Padahal Indonesia sendiri memiliki semangat Bhineka Tunggal Ika.

"RUU ini akan menimbulkan kegaduhan saja dan diskriminasi. Bijaklah sebagai wakil rakyat yang sebagai representatif dari berbagai wilayah atau daerah. Mudah-mudahan pikiran yang baik dan benar datang dari segala arah. Om swaha," katanya.

Di sisi lain, sejumlah Ormas Islam juga membenarkan hal tersebut. Mereka menilai hukum atau aturan berkaitan dengan minuman beralkohol harus segera dimunculkan. Salah satunya Front Pembela Islam (FPI), di mana ketua umum ormas tersebut, Sobri Lubis, bahkan mengusulkan perihal hukum cambuk berkaitan dengan RUU Minol ini.

"FPI meminta pemerintah memberlakukan hukum cambuk bagi pelanggar UU Larangan Minuman Beralkohol agar memberikan efek jera kepada pemakainya," kata dia.

Untuk diketahui, RUU Minol kembali dibahas di Baleg DPR usai diusulkan 21 anggota DPR RI yang berasal dari tiga fraksi berbeda yakni PPP, PKS, serta Gerindra. Hal tersebut diketahui dari dokumen penjelasan pengusul RUU Minol yang diunggah di situs resmi DPR pada Rabu (11/11).

"Penolakan-penolakan maupun masukan-masukan akan menjadi perhatian Baleg untuk lebih mencermati pembahasan dari usulan tersebut," kata Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengenai langkah Baleg atas RUU ini di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Jumat (13/11).

Dia menerangkan, pembahasan RUU Minol pada saat ini baru dalam tahap penjelasan dari pengusul rancangan regulasi. Dasco menjelaskan Baleg akan mengkaji penjelasan dari pengusul itu lebih dahulu dan menentukan apakah pembahasan RUU Larangan Minuman Beralkohol akan dilanjutkan pembahasannya atau tidak.

(tst/kid)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER