Perhelatan Pilkada Kota Surabaya diwarnai sejumlah kader PDIP yang membelot. Mereka menolak untuk mendukung pasangan calon yang diusung partainya sendiri, yakni Eri Cahyadi-Armuji.
Sejumlah kader lebih suka mendukung kerja-kerja pemenangan paslon Machfud Arifin-Mujiaman Sukirno. Machfud sendiri merupakan pensiunan Jenderal Polri yang juga mantan Ketua Tim Kampanye Daerah Jawa Timur Jokowi-Ma'ruf Amin di Pilpres 2019 lalu.
Tak hanya PDIP, sejumlah kader NasDem pun membelot. Mereka tidak mau mendukung Machfud-Mujiaman dan memilih Eri-Armuji.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengamat politik Universitas Trunojoyo Madura, Surokim Abdussalam mengatakan bahwa setiap kubu yang tengah bertarung di Pilkada Surabaya tengah menjalankan 'perang udara' atau Strategi mengganggu soliditas lawan.
"Strategi mengganggu soliditas internal partai itu bagian dari upaya untuk memecah dukungan dan menguatkan perang udara," kata Surokim kepada CNNIndonesia.com, Selasa (17/11).
Surokim menilai fenomena pembangkangan kader terhadap keputusan partai adalah hal wajar di musim pilkada atau pemilu. Paslon yang diuntungkan tentu memanfaatkan soliditas yang rapuh di internal lawannya.
![]() |
Surokim mengatakan bahwa partai politik mesti pandai mengambil langkah dalam menyikapi pembangkangan para kadernya. Jika menempuh langkah keliru, perpecahan bisa makin membesar dan lawan makin diuntungkan.
"Semua akan berpulang pada efektivitas. Seberapa jauh respons partai melihat hal itu," kata Surokim.
Kader PDIP yang sejauh ini mengambil sikap berlawanan dengan partainya yaitu Mat Mochtar. Dia merupakan sosok sepuh PDIP di Surabaya.
Kemudian ada kelompok Banteng Ketaton. Terdiri dari kader dan simpatisan PDIP lawas yang juga memilih untuk mendukung Machfud-Mujiaman.
Lalu ada Jagad Hariseno, yang merupakan kakak dari Wakil Wali Kota Surabaya Whisnu Sakti Buana. Jagad dan Whisnu adalah anak dari mantan sekjen PDIP Soetjipto.
Semua kader PDIP yang membelot itu mengaku kecewa karena bukan kader internal yang diusung di Pilkada Kota Surabaya. Diketahui, Eri Cahyadi yang diusung PDIP, bukan kader murni melainkan birokrat Pemkot Surabaya.
Para kader PDIP itu lebih suka jika Whisnu Sakti Buana yang diusung DPP menjadi calon wali kota Surabaya. Terlebih, Whisnu sudah banyak pengalaman usai dua periode menjadi wakil wali kota Surabaya mendampingi Tri Rismaharini.
![]() |
Pengamat sosiologi dan politik Universitas Sunan Ampel Surabaya, Ahmad Zainul Hamdi menilai perpecahan yang ada di tubuh PDIP murni disebabkan oleh kekecewaan.
Bukan hasil dari strategi yang dijalankan Machfud Arifin-Mujiaman.
"Saya kira Machfud itu tidak sampai berkeinginan dan punya skenario yang sedemikian canggih untuk memecah belah PDIP. PDIP dalam konteks ini tanpa dipecah belah, ya sudah pecah belah," kata Inung, sapaan akrabnya.
Machfud, kata Inung, hanya sebatas memanfaatkan kekecawaan yang lahir di benak sejumlah kader PDIP. Machfud lantas menampung kekecewaan mereka.
"Bagi orang seperti Machfud ia akan melihat segala kemungkinan kekuatan sosial politik yang bisa dikapitalisasi untuk memenangkan dirinya, ya pasti digunakan," ucapnya.
Inung lalu menilai bahwa kekecewaan kader lawas PDIP sejauh ini bukan hal baru. Menurutnya, kekecewaan itu memang sudah menumpuk dan terakumulasi sejak lama.
Inung mengatakan kader mulai kecewa ketika sosok Risma dicalonkan menjadi calon wali kota Surabaya pada 2010 silam. Risma bukan kader murni PDIP.
Belum genap setahun kepemimpinannya, langkah Risma dijegal. Buntutnya adalah saat DRPD Surabaya menggelar Rapat Paripurna yang merekomendasikan pelengseran Risma kepada Mahkamah Agung pada Januari 2011 silam.
Keputusan pemakzulan itu didukung oleh 6 dari 7 fraksi di DPRD Surabaya, termasuk PDIP yang mengusung Risma. Hanya fraksi PKS yang menolak pemakzulan dengan alasan belum cukup bukti dan data.
"Sebetulnya ini adalah kekecewaan dari kader-kader PDIP yang sudah sangat terakumulasi lama," kata dia.