Penggugat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 24 Tahun 2003 Mahkamah Konstitusi (UU MK) meminta aturan masa jabatan hakim konstitusi diberlakukan dengan syarat.
Permintaan tersebut disampaikan melalui sidang pengujian materiil perkara Nomor 97/PUU-XVIII/2020 yang digelar di gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (19/11).
Uji materi ini diajukan dua orang yang berprofesi sebagai advokat yakni Suhardi dan Linda Yendrawati. Keduanya merasa Pasal 98 pada UU tersebut berpotensi menyebabkan kerugian konstitusional pada diri masing-masing.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Para pemohon memohon ke Mahkamah Konstitusi untuk dapat menafsirkan norma Pasal 87 UU Nomor 7 Tahun 2020 agar menjadi konstitusional bersyarat dan memberikan batasan penafsiran agar tidak terjadi pelanggaran hukum," kata kuasa hukum pemohon, Nadya, dalam sidang yang juga disiarkan lewat akun Youtube Mahkamah Konstitusi RI.
Pasal tersebut mengatur masa jabatan hakim konstitusi hingga usia 70 tahun selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 tahun.
Dalam hal ini, penggugat meminta MK menambahkan ketentuan uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test), serta pengawasan jasmani dan rohani sebagai syarat penerapan pada beleid tersebut.
"Adanya fit dan proper test serta pengawasan kesehatan jasmani dan rohani dilakukan setiap lima tahun sekali oleh panitia secara objektif yang dibentuk oleh Dewan Pengawas MK," ungkap Nadya.
Anggota panel majelis hakim konstitusi, Manahan Sitompul, mengatakan penggugat harus menguraikan lebih jelas maksud dari permintaan fit and proper test yang disampaikan.
"Diuraikan dimana anda maksudkan perlu ada fit and proper test, dan pengawasan setiap lima tahun sekali. Di mana ini? Apakah hanya norma ini? Apa maksudnya dilakukan lima tahun sekali? Belum jelas di dalam petitum," kata Manahan dalam sidang tersebut.
Ia juga menilai permohonan tidak menjelaskan kerugian apa yang dialami dua penggugat itu dengan berlakunya Pasal 87 dalam UU MK.
"Kalau disebut ada kerugian di bidang sebagai penasehat hukum. Dalam hal apa? Harus jelas hubungannya dengan norma, karena ini kita masih abu-abu nampaknya dalam menguraikan legal standing," lanjutnya.
Ketua Majelis Hakim Panel Arief Hidayat mengatakan masih banyak poin yang perlu diperbaiki dalam permohonan yang diajukan. Ia pun memberikan kesempatan agar pemohon memperbaiki sejumlah poin dalam permohonan tersebut sampai 14 hari sejak sidang pertama.
"Kalau saudara permohonannya masih seperti ini, maka kemudian saudara bisa dikatakan permohonan ini satu, tidak jelas, kabur," tambahnya di akhir sidang.
![]() |
Dalam jadwal persidangan lain, sidang pengujian formil dan materiil terhadap UU MK digelar melalui perkara Nomor 100/PUU-XVIII/2020 oleh tujuh pemohon yang tergabung dalam Koalisi Selamatkan Mahkamah Konstitusi.
Kuasa hukum pemohon, Kurnia Ramadhana, mengatakan terdapat pelanggaran konstitusional yang dilakukan dalam pembahasan dan pengesahan revisi UU MK.
"Pemohon menilai proses revisi Undang-Undang Mahkamah [Konstitusi] yang dilakukan secara tergesa-gesa diselesaikan dalam waktu sesingkat-singkatnya, yaitu hanya tujuh hari. Dibahas dalam situasi yang tidak stabil," katanya dalam sidang.
Kemudian pihaknya menduga ada penyelundupan hukum dengan dalih menindaklanjuti putusan MK dalam revisi tersebut. Kemudian revisi juga dinilai tidak memenuhi syarat carry over atau peralihan. Naskah akademik yang digunakan dalam revisi UU tersebut, lanjutnya, juga tak bisa dipertanggungjawabkan serta tak memiliki dasar hukum yang valid.
Pihaknya juga menilai revisi UU MK memiliki nuansa konflik kepentingan, karena substansinya mengatur terkait perpanjangan masa jabatan bagi hakim yang kini tengah menjabat.
Lebih lanjut ia menegaskan pemohon memiliki hak untuk menggugat ketentuan tersebut, karena revisi UU MK bukan hanya berdampak pada internal lembaga peradilan konstitusi tersebut.
Pihaknya menilai MK memiliki wewenang untuk menguji UU tersebut, meskipun itu mengatur lembaganya sendiri. Ini disampaikan berdasarkan putusan MK No. 49/PUU-IX/2011. Kurnia mengatakan MK bisa menguji UU yang mengatur institusinya karena tidak ada forum lain yang bisa mengadili permohonan tersebut.
Juga ditekankan perkara ini merupakan kepentingan konstitusional bangsa dan negara, bukan untuk kepentingan MK atau perseorangan hakim konstitusi.
"Tapi bertautan dengan fungsi MK yang erat kaitannya dengan kepentingan publik sebagai penegak konstitusi, pengawal demokrasi dan pelindung hak konstitusional hak-hak warga negara," jelasnya.
Untuk itu, kuasa hukum sekaligus pemohon, Raden Violla Reininda meminta MK menunda pelaksanaan UU tersebut untuk memastikan tidak ada konflik kepentingan dalam beleid tersebut.
"Kami memohon kepada Mahkamah untuk mengeluarkan putusan sela, ini belum disampaikan di permohonan tapi akan kami tambahkan, kami meminta untuk menunda keberlakuan UU Nomor 7 Tahun 2020 ini," katanya.
Sebelumnya, pengesahan revisi UU MK menuai kontroversi karena dilakukan berdekatan dengan pengesahan omnibus law Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) yang banyak ditolak elemen buruh dan masyarakat sipil.
Situasi ini memunculkan kecurigaan bahwa revisi UU tersebut mengakibatkan independensi MK terganggu dan akan berpihak kepada DPR dan pemerintah dalam peninjauan kembali UU Ciptaker.
Juga ada pihak yang mengkritik penghargaan Bintang Mahaputera yang diberikan Presiden Joko Widodo kepada enam hakim MK baru-baru ini.
Revisi pada UU MK mengubah setidaknya lima substansi, yakni soal kedudukan, susunan dan kewenangan MK; pengangkatan dan pemberhentian MK, serta perubahan masa jabatan ketua dan wakil MK. Kemudian perubahan usia minimal, syarat, dan tata cara seleksi hakim MK; penambahan ketentuan baru mengenai unsur majelis kehormatan MK; dan pengaturan peraturan peralihan.