Pakar Hukum: Instruksi Tito soal Copot Kepala Daerah Gegabah

CNN Indonesia
Jumat, 20 Nov 2020 07:06 WIB
Pakar hukum tata negara Asep Warlan Yusuf menilai instruksi Mendagri Tito soal copot kepala daerah pelanggar prokes terlalu berlebihan.
Instruksi Mendagri Tito Karnavian soal ancaman pencopotan kepala daerah dinilai berlebihan. (Foto: CNN Indonesia/ Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia --

Instruksi Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian soal pencopotan kepala daerah pelanggar protokol kesehatan covid-19 dinilai gegabah dan berlebihan. 

Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Parahyangan Asep Warlan Yusuf menjelaskan bahwa pemerintah tak seharusnya menjatuhkan sanksi kepada kepala daerah yang melanggar protokol kesehatan.

"Ini perbuatan yang eksesif, berlebih, dan tidak proporsional. Ancamannya termasuk berlebihan, mestinya ada rapat koordinasi," kata Asep kepada CNNIndonesia.com, Kamis (19/11) malam.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tito diketahui menerbitkan Instruksi Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penegakan Protokol Kesehatan untuk Pengendalian Penyebaran Virus Covid-19, menyusul kerumunan yang muncul di acara Imam Besar FPI Rizieq Shihab. Dalam instruksi tersebut di antaranya memuat ancaman sanksi pemberhentian kepala daerah yang melanggar protokol kesehatan.

Mantan Kapolri itu berpijak pada Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang mengatur tentang pemberhentian kepala daerah yang melanggar ketentuan.

Namun menurut Asep, persoalan protokol kesehatan covid-19 bukan sepenuhnya tanggung jawab kepala daerah, melainkan juga pemerintah pusat dan institusi lainnya.

"Penanganan covid bukan hanya kepala daerah, tapi pemerintah pusat, instansi vertikal lainnya polisi, kejaksaan. Di daerah juga membentuk satgas kok, gugus tugas. Jadi ini banyak pihak yang terlibat," jelas dia.

"Masa misalnya gara gara kerumunan langsung dicopot, ini terlalu gegabah," sambung dia.

Kata Asep, pemerintah seharusnya mengedepankan pendekatan koordinasi alih-alih melakukan tindakan hukum hukum. Terlebih sesama penyelenggara pemerintah semestinya saling berkomunikasi.

Asep menilai, pemerintah salah mengartikan UU Pemda tentang pencopotan kepala daerah. Ia tak menampik kepala daerah bisa dicopot dengan sejumlah alasan, namun tidak serta merta langsung diterapkan.

"Pemerintah tidak memahami secara holistik, melainkan parsial UU tersebut. Prosedurnya tidak bisa tiba-tiba dicopot, masa dicopot karena protokol kesehatan," jelas Asep.

Selain itu, mendagri semestinya memberikan peringatan atau teguran secara lisan atau tertulis sebelum mencopot kepala daerah yang melanggar.

"Pejabat publik harus bisa mengayomi, kan ini ada teguran lisan dulu, tertulis yang harusnya dikedepankan. Kalau pencopotan artinya mendagri tidak menghargai prosedur itu," beber dia.

Adapun, Asep menyarankan kepada mendagri untuk mengkaji ulang aturan mengenai pencopotan kepala daerah tersebut. Ia mendorong mendagri mengedepankan komunikasi pemerintahan dan menghormati kedudukan masing-masing pejabat publik.

"Saya kira mendagri memiliki staf ahli dan bisa didiskusikan terlebih dahulu. Lakukan komunikasi pemerintahan agar bisa tetap respect satu dengan yang lain," tutup dia.

Sementara Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria menyatakan akan mematuhi instruksi dan setiap aturan yang ada, termasuk yang dikeluarkan oleh mendagri.

Riza menuturkan, sebagai negara hukum pemerintah tentu memiliki aturan melalui UU maupun peraturan lainnya.

"Pokoknya kami patuh pada aturan dan ketentuan," ucapnya.

Di sisi lain, Ketua Komisi A DPRD DKI Jakarta Mujiyono menilai, instruksi Tito itu merupakan peringatan bagi semua kepala daerah, bukan hanya Jakarta.

"Saya melihat sebagai warning untuk kepala daerah semuanya, bukan hanya Jakarta yang seolah-olah memberikan toleransi, dalam tanda kutip terhadap kerumunan yang tidak menaati aturan dalam protap dan ketentuan jumlah," kata Mujiyono.

Namun ia meminta agar instruksi itu ditinjau lebih lanjut dengan merujuk pada aturan perundang-undangan.

Di Jakarta sendiri, Mujiyono mengklaim pemerintah provinsi telah menjalankan protokol kesehatan. Bahkan, menurutnya, pihak pemprov jauh-jauh hari sudah mengimbau agar Rizieq tidak membuat agenda yang menimbulkan kerumunan massa.

Ia sendiri mengakui tak mudah untuk mengatur kerumunan banyak orang tersebut.

Pemprov DKI juga dinilai sudah tegas dengan menjatuhkan sanksi Rp50 juta atas kerumunan yang muncul di acara Rizieq.

"Ini udah dicegah, udah dikasih tahu. Urusan denda bukan prestasi, terpaksa. Denda itu langkah terakhir," ujar dia.

(ctr/dmi)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER